Harga Saham BYAN Melemah, Orang Terkaya Indonesia Ini Malah Memborongnya



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga saham BYAN dari PT Bayan Resource Tbk dalam tren melemah bulan Februari 2022 ini. Namun, hal ini menjadi kesempatan orang terkaya Indonesia untuk memborong saham BYAN.

Orang terkaya Indonesia tersebut adalah Dr Low Tuck Kwong. Low Tuck Kwong juga merupakan pemegang saham BYAN. Baru-baru ini, Low Tuck Kwong kembali menambah kepemilikan saham dengan kembali mengoleksi saham BYAN sebanyak 742.200 saham. 

Mengutip Keterbukaan Informasi, Bursa Efek Indonesia (BEI), Senin (20/2), Low Tuck Kwong kembali membeli sebanyak 742.200 saham BYAN dengan harga pelaksanaan sebesar Rp 18.763,31 per saham dari tanggal 13 Februari 2023 hingga 17 Februari 2023.


Sehingga nilai transaksi pembelian saham tersebut sebesar Rp 13,92 miliar. "Tujuan dari transaksi investasi, dengan status kepemilikan saham langsung," tulis Low Tuck Kwong, Senin (20/2).

Baca Juga: Harta Kekayaan Low Tuch Kwong Terus Menyusut, Hartono Bersaudara Semakin Kaya

Adapun dengan transaksi pembelian saham tersebut, Low Tuck Kwong sekarang memiliki saham BYAN sebanyak 20.323.318.070 saham atau setara 60,97%. Sebelumnya, sekitar 20.322.575.870 saham BYAN.

Pada Februari 2023 ini harga saham BYAN dalam tekanan. Harga saham BYAN pada perdagangan Senin 20 Februari 2023 ditutup di level 18.300 turun 275 poin atau 1,48% dibandingkan sehari sebelumnya.

Dalam 5 hari terakhir perdagangan, harga saham BYAN selalu berada di zona merah. Harga saham BYAN terakumulasi turun 600 poin atau 3,17% selama 5 hari perdagangan.

Sebagai informasi, Low Tuck Kwong telah membeli saham BYAN secara bertahap. Dimana pada Selasa, 7 Februari 2023, Low Tuck Kwong membeli sebanyak 1.086.400 saham BYAN dengan harga pelaksanaan Rp 19.559,57 per saham dari 30 Januari hingga 3 Februari 2023.

Dengan transaksi pembelian saham itu, Low Tuck Kwong mengeluarkan dana sebesar Rp 21,29 miliar dalam transaksi pembelian saham tersebut. 

Rekomendasi saham

Penurunan harga saham BYAN ini sejalan dengan pergerakan di industri pertambangan. Head of Research Phintraco Sekuritas Valdy Kurniawan menilai, pemicu koreksi saham-saham tambang ini satunya datang dari penurunan harga batubara yang signifikan, terutama di awal 2023 ini.

Salah satu pemicu koreksi harga batubara adalah kabar bahwa jumlah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang diaktifkan kembali di Eropa tidak sebanyak yang dikhawatirkan. Benua biru tersebut masih mampu menjaga supply energinya dari sumber-sumber energi terbarukan yang selama ini menjadi sumber energi utama di Eropa.

“Faktor ambil untung (profit taking) juga tidak dapat dikesampingkan sebagai faktor yang menyebabkan pelemahan harga emiten batubara di awal tahun 2023 ini,” kata Valdy kepada Kontan.co.id, Kamis (9/2).

Dengan kondisi harga saat ini, sektor energi berpotensi undervalued. Hal ini berdasarkan pada kondisi price to earnings ratio (PER) sektor energi sebesar 6,45 kali di Desember 2022, dibandingkan PER IHSG di 15,62 kali pada periode yang sama.

Berdasarkan informasi tersebut, beberapa emiten tambang batubara berpotensi memiliki valuasi yang undervalue alias memiliki PER dan price to book value (PBV) di bawah sektor.

Pertama ada ADRO dengan PER 2,36 kali dan PBV 1,04 kali. Kedua ada saham PTBA dengan PER 2,97 kali dan PBV 1,52 kali.

Ketiga, saham INDY dengan PER 1,73 kali dan PBV 0,72 kali. Keempat ada saham ITMG dengan PER 2,21 kali dan PBV 1,35 kali.

Kelima, saham PT United Tractors Tbk (UNTR) dengan PER 2,21 kali dan PBV 1,35 kali. “Untuk saat ini kami memberikan rekomendasi speculative buy atau buy on support pada saham-saham tersebut untuk memanfaatkan potensi technical rebound, terutama dalam jangka pendek,” sambung Valdy.

Valdy memproyeksi, harga batubara masih akan mampu bertahan di kisaran US$ 250 per ton sampai dengan US$ 300 per ton untuk tahun ini. Memang, proyeksi ini lebih rendah dari rata-rata harga tahun 2022 yang di kisaran US$ 350 per ton.

Meski demikian, perlu digarisbawahi pelemahan harga atau moderasi harga batubara baru terjadi di Desember 2022. Dengan demikian, ada potensi bahwa dampak penurunan tersebut belum terefleksi sepenuhnya di laporan keuangan tahun penuh 2022.

Artinya pertumbuhan signifikan kinerja topline dan bottom line masih bisa dirasakan di laporan kinerja tahun lalu. ”Dengan demikian, rilis laporan keuangan 2022 berpotensi menjadi katalis positif yang dapat memicu rebound saham-saham coal producers, terutama dalam jangka pendek,” tutup dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Adi Wikanto