JAKARTA. Pasar obligasi, baik obligasi korporasi maupun Surat Utang Negara (SUN), terus membaik. Lihat saja, harga SUN terus menguat dalam beberapa pekan terakhir. Kemarin, indeks SUN hasil hitungan Himpunan Pedagang SUN (Himdasun) naik jadi 86,29 dari 84,65 sehari sebelumnya. Padahal pada awal Desember 2008, indeks tersebut masih berada di level 76,55. Artinya, sampai kemarin, indeks SUN itu telah naik 12,7%. Bahkan, kemarin, harga SUN seri FR0048 yang bertenor 10 tahun melonjak dari 77,6 menjadi 84,70. Harga SUN mulai membaik setelah Bank Indonesia (BI) memangkas BI rate dari 9,5% jadi 9,25% pada 4 Desember lalu. Tambah lagi, bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve, juga kembali menurunkan bunganya hingga tersisa 0,25%, dari sebelumnya 1%.
Hasilnya, selisih antara suku bunga AS dan BI rate pun makin lebar. "Selisih bunga yang makin lebar itu membuat obligasi Indonesia semakin menarik bagi investor, khususnya asing," ujar Helmi Arman, Analis Obligasi Bank Danamon, kemarin (17/12). Maklum, meski imbal hasil (yield) SUN kita turun seiring kenaikan harganya, angkanya masih tetap tinggi. Kemarin, yield SUN FR0048 yang bertenor 10 tahun masih 11,7%. Kahlil Rowter, Presiden Direktur PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) menyatakan hal yang senada. Menurutnya, minat investor asing terhadap SUN terlihat dari porsi dana asing masih berbiak di SUN. Per 16 Desember 2008, angkanya mencapai Rp 87,77 triliun. Transaksi belum pulih Angka ini membaik dari angka akhir November lalu yang sekitar Rp 86 triliun, meski masih lebih rendah dari posisi tertingginya sebesar Rp 106,66 triliun. Salah satu pemicu dana asing kembali masuk adalah karena yield obligasi negara AS alias US Treasury sudah terlampau rendah, yaitu berkisar 1%-2% untuk jangka pendek dan 2,2%-2,4% untuk jangka panjang. "Sudah tidak ada alasan lagi investor masuk ke US treasury dengan suku bunga Fed yang tinggal 0,25%," ujar Kahlil. Tapi, perdagangan surat utang dalam negeri masih belum pulih. Sebelum krisis, volume transaksi harian bisa mencapai Rp 3 triliun-Rp 4 triliun. Dalam seminggu terakhir, rata-rata volume transaksi hanya sebesar Rp 400 miliar saja. Penurunan terutama terlihat pada pasar obligasi korporat. Maklum, banyak perusahaan yang urung menerbitkan obligasi pada tahun ini.
Toh, para pelaku pasar optimistis pasar akan kembali pulih, seiring membaiknya ekonomi. Helmi memprediksi pertumbuhan ekonomi tahun 2009 hanya sebesar 4,3%. Dengan demikian, Helmi memperkirakan BI rate bakal turun hingga 8%. Kahlil mematok angka yang lebih optimistis. Kahlil memprediksi BI rate akan turun jadi 7,5% tahun depan. Hal ini akan memulihkan kepercayaan diri perusahaan untuk menerbitkan obligasi korporat. "Perkiraan kami tahun depan obligasi korporat yang akan terbit mencapai Rp 10 triliun-Rp 15 triliun," terang Kahlil. Catatan saja, angka itu di luar obligasi terbitan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) senilai US$ 1 miliar. Analis yakin investor akan tetap melirik pasar surat utang Indonesia karena yield masih tinggi. Adapun AS masih harus menghadapi masalah tingginya peredaran dolar AS. "Sekarang, AS mencetak duit US$ 2 triliun, tahun depan bisa mencapai US$ 3 triliun," imbuh Kahlil. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie