JAKARTA. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) akan menekan pasar obligasi pemerintah. Dalam jangka pendek, rata-rata harga obligasi negara bisa terkoreksi dalam jangka pendek. Analis Millenium Danatama Asset Management Desmon Silitonga memperkirakan, rata-rata imbal hasil obligasi negara bisa terkerek antara 10-25 basis poin. "Kenaikan harga BBM akan mendorong
yield naik. Investor melepas obligasi dalam jangka pendek sehingga akan menekan harga di pasar sekunder," kata Desmon akhir pekan lalu. Analisis Desmon, saat ini tekanan surat utang negara (SUN) sudah mulai terasa. Desmon menduga obligasi bertenor panjang di atas 15 tahun akan mengalami tekanan lebih dalam ketimbang seri-seri bertenor pendek. "Tekanan di pasar obligasi sudah mulai terasa karena pemerintah merencanakan kenaikan BBM per awal Mei," tutur Desmon.
Data sepekan terakhir menunjukkan, semakin panjang tenor, harga semakin tertekan. Harga SUN acuan seri FR0063, bertenor 10 tahun turun dari 101,615 pada 12 April menjadi 101,610 per 19 April. SUN seri FR0064 bertenor 15 tahun pun turun harga dari 100,375 menjadi 100,065 pada periode yang sama. Sedangkan SUN acuan seri FR0065 bertenor 20 tahun lebih tertekan dengan penurunan harga dari 103,000 menjadi 102,485 sepekan terakhir. Tekanan harga pada obligasi negara ini secara otomatis menaikkan tingkat imbal hasil di pasar sekunder. Menurut Desmon, tekanan obligasi akan berlangsung dalam jangka pendek. Harga obligasi berpotensi menguat setelah pengumuman inflasi April oleh Badan Pusat Statistik (BPS). "Apabila inflasi cukup rendah, kemungkinan Bank Indonesia (BI) tidak akan menaikkan BI rate. Kondisi ini akan membuat tekanan di SUN sedikit berkurang. Terjaganya stabilitas inflasi akan membuat SUN kembali naik," tutur Desmon. Direktur Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) Wahyu Trenggono mengatakan, isu kenaikan harga BBM memicu investor bersikap hati-hati. Menurut Wahyu, investor mulai mengkalkulasi potensi penurunan
return akibat akumulasi dampak inflasi seiring kenaikan BBM, pelemahan rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS), serta dampaknya terhadap defisit anggaran pemerintah. "Obligasi yang dimiliki investor saat ini akan dikonversikan ke instrumen yang memberikan
return tinggi sehingga ada tekanan jual," kata Wahyu. Wahyu menambahkan, tekanan di pasar obligasi akan terjadi dalam jangka pendek. Menurut Wahyu, kenaikan harga BBM dalam jangka panjang justru bakal berdampak positif bagi pasar obligasi. Pasalnya, kenaikan harga BBM secara langsung akan mengurangi beban subsidi di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Subsidi BBM selama ini dianggap terlalu besar dan menjadi halangan bagi lembaga pemeringkat internasional Standard and Poors (S&P) untuk meningkatkan peringkat Indonesia menjadi
investment grade. "Bila subsidi hilang, diharapkan S&P dapat meningkatkan peringkat. Investor-investor asing yang fanatik dengan
rating S&P akan berani membeli obligasi Indonesia,"kata Wahyu. Sekedar informasi, saat ini S&P menyematkan peringkat BB+ terhadap Indonesia. Peringkat
investment grade Indonesia baru berasal dari Moody’s dan Fitch Rating. Wahyu memperkirakan, pasar obligasi bakal kembali positif setelah ada indikasi pasar AS dan Eropa stabil. Saat itu, investor asing akan akan lebih mendiversifikasi portofolionya dan masuk ke Indonesia. Hal ini akan mengangkat harga obligasi. "Bila pasar AS dan Eropa sudah normal, maka investor tidak lagi terkonsentrasi pada negara-negara yang menjadi safe haven," kata Wahyu. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati