KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasar obligasi domestik kembali tertekan seiring naiknya ekspektasi pelaku pasar soal kenaikan suku bunga The Federal Reserve. Tambah lagi, imbal hasil obligasi Amerika Serikat (AS) mengalami kenaikan. Kemarin, Indonesia Composite Bond Index (ICBI) tercatat mengalami penurunan 0,41% ke 242,83. Di saat yang sama,
credit default swap (CDS) Indonesia tenor 10 tahun kembali naik 2,42% jadi 172,60. CDS tenor lima tahun juga naik 0,19% ke 101,92. Kenaikan CDS mengindikasikan kenaikan persepsi investor atas risiko berinvestasi di Indonesia. Seiring hal itu,
yield surat utang pemerintah juga cenderung naik. Kemarin,
yield FR0064 menyentuh level 6,92% atau tertinggi sejak November 2017.
Analis Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) Nicodimus Anggi Kristantoro mengatakan, gejolak pada pasar obligasi dalam negeri terjadi lantaran tekanan eksternal. Di mulai dari konflik geopolitik yang terjadi di Suriah pada pekan lalu serta memanasnya tensi perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan China. Tekanan tambahan berasal dari dirilisnya The Beige Book, yang merupakan rangkuman kinerja ekonomi dari 12 bank sentral di negara bagian AS. Hal inilah yang membuat ekspektasi kenaikan inflasi di AS akan terjadi lebih cepat. "Hal tersebut akhirnya mendorong kekhawatiran bahwa suku bunga acuan akan bergerak lebih agresif," kata Nico, Selasa (24/4). Potensi melesatnya inflasi AS juga mengerek
yield surat utang negara AS. Kemarin,
yield US Treasury tenor 10 tahun bahkan sempat mencapai level 3%. Beban rupiah I Made Adi Saputra, analis Fixed Income MNC Sekuritas, menambahkan, kenaikan harga minyak juga berkontribusi pada memudarnya pesona pasar obligasi domestik. Seperti diketahui, kemarin harga minyak WTI kontrak Juni 2018 di New York Mercantile Exchange sempat mencapai level tertinggi sejak Februari 2015 di US$ 69,38 per barel. Pelemahan rupiah juga menekan harga obligasi. Rupiah sempat mendekati Rp 13.900 per dollar. Hal ini mendorong investor asing keluar dari surat berharga negara (SBN).
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, pada periode 16 April-23 April, investor asing yang keluar dari SBN mencapai Rp 5,39 triliun menjadi Rp 868 triliun. "Jika rupiah terus melemah apalagi tembus Rp 14.000 atau ke Rp 15.000, investor asing akan
loss karena
currency," tambah Made. Made berpendapat, investor domestik seharusnya memanfaatkan kenaikan
yield SUN untuk mempertebal
real return. Made menghitung, jika
yield ada di level 6,9%, dengan inflasi 3,4% maka investor bisa menikmati
return 3,5%. Ini lebih tinggi ketimbang saat
yield berada di level 6,5%. Made memperkirakan , dengan asumsi nilai tukar rupiah Rp 13.700 per dollar AS, maka
yield obligasi bisa bertengger di 6,8% pada semester I-2018. Namun, bila rupiah berada di Rp 14.000 per dollar AS maka
yield obligasi domestik bisa naik jadi 7,15%. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati