JAKARTA. PT Summarecon Agung Tbk (SMRA) boleh jadi memiliki modal cukup kuat menghadapi tantangan di bisnis properti, tahun ini. Pengetatan uang muka kredit perumahan oleh Bank Indonesia (BI), bisa menjadi sentimen negatif industri properti. Namun, dengan pemilihan strategi bisnis yang tepat, efek aturan yang berlaku mulai Juni 2012 itu mungkin bisa diantisipasi oleh emiten.SMRA tetap menargetkan marketing sales sebesar Rp 3,5 triliun, tahun ini. Target itu naik 52% dari capaian tahun lalu. Optimisme SMRA tidak lepas dari capaian kinerja sejauh ini. Sampai Mei lalu, 60% target penjualan mereka sudah tercapai setara Rp 2,1 triliun. Ini didukung oleh kenaikan harga tanah yang tinggi dan lajunya permintaan konsumen di tiga proyek SMRA. Yaitu, di Serpong, Kelapa Gading, dan Bekasi.
Kenaikan harga tanah di Serpong misalnya, mencapai Rp 8 juta per meter persegi, naik 33,3% dibanding tahun lalu. Harga tanah SMRA di Kelapa Gading naik 31,25% menjadi Rp 21 juta meter persegi. Di Bekasi, kenaikannya 37,5%, menjadi sekitar Rp 4 juta per meter persegi. Tanah terbatas Winny Rahardja, analis Valbury Asia Securities, mencatat, kenaikan harga di sektor properti di Indonesia memang tinggi. Tahun lalu, kenaikan harga, khususnya Jakarta, tercatat teringgi kedua teratas dibanding sejumlah negara lain di Eropa, Amerika maupun Asia. "Meningkatnya harga dan penyaluran kredit properti memang menandakan adanya peningkatan permintaan atas proyek properti," katanya. Liliana Bambang, analis JP Morgan, menambahkan, harga tanah di wilayah SMRA masih bisa terus naik. Di kawasan Kelapa gading, keterbatasan cadangan tanah membuat SMRA bisa mematok harga tinggi. Sedangkan pembeli juga terus berdatangan. "Dalam dua bulan terakhir, mereka meluncurkan 5 produk residensial serta cluster dan 2 menara apartemen," kata Liliana.