KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga telur di Amerika Serikat (AS) terus mengalami kenaikan signifikan, dan para ahli industri memproyeksikan bahwa kenaikan ini kemungkinan akan bertahan hingga 2025. Penyebab utamanya adalah wabah Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) atau flu burung, yang terus mengganggu pasokan telur secara global.
Faktor Penyebab Kenaikan Harga Telur
Kevin Bergquist, Manajer Sektor Wells Fargo Agri-Food Institute, menjelaskan bahwa sejak 2023, harga telur tetap tinggi karena kombinasi antara kenaikan musiman selama libur akhir tahun dan gangguan pasokan akibat flu burung.
Menurutnya, harga telur secara umum tetap di atas harga 2023 dan bahkan sering melampaui harga pada 2022, saat flu burung pertama kali memukul pasar telur dengan keras. Wabah flu burung pada akhir 2023 hingga 2024 kembali menghambat upaya pemulihan jumlah kawanan ayam petelur, yang berdampak langsung pada keterbatasan pasokan.
Baca Juga: Orang Terkaya India: Mukesh Ambani dan Gautam Adani Keluar dari Klub US$100 Miliar Kenaikan musiman yang biasa terjadi selama libur akhir tahun semakin diperburuk oleh berkurangnya kawanan ayam petelur. Sebelum wabah besar flu burung pada Maret 2022, populasi ayam petelur berada pada level yang cukup untuk mendukung harga telur yang lebih rendah. Harga grosir saat itu masih di bawah $1,50 per lusin. Namun, wabah flu burung menyebabkan lonjakan harga telur yang belum pernah terjadi sebelumnya pada Desember 2022. Meskipun harga sempat turun pada 2023 saat produsen mulai memulihkan kawanan ayam, wabah yang kembali terjadi di akhir tahun menghambat proses tersebut.
Dampak pada Harga Konsumen
Menurut Indeks Harga Konsumen (Consumer Price Index), harga bahan makanan meningkat 0,5% pada November, dengan telur menunjukkan lonjakan terbesar. Dalam kategori daging, unggas, ikan, dan telur, harga naik 1,7%, tetapi harga telur melonjak hingga 8,2%. Dr. Michael Swanson, Kepala Ekonom Pertanian Wells Fargo Agri-Food Institute, menyoroti pentingnya harga konsumen. “Harga yang dilihat konsumen di toko sangat penting karena menjadi acuan utama mereka. Banyak pengecer lambat menyesuaikan harga bahan pokok seperti susu dan telur untuk menjaga daya tarik konsumen,” ujarnya. Swanson juga mencatat bahwa pengecer kadang-kadang mengambil margin negatif dalam jangka pendek untuk menjaga loyalitas konsumen dan menghindari reaksi negatif akibat perubahan harga yang tiba-tiba.
Baca Juga: Mahkamah Konstitusi Korea Selatan Tinjau Pemakzulan Presiden Yoon Suk Yeol Proyeksi dan Tantangan Pasar Telur
Wells Fargo Agri-Food Institute memperkirakan bahwa pasar telur akan terus menghadapi tantangan hingga 2025. Produsen masih kesulitan memulihkan populasi ayam petelur akibat wabah flu burung yang berulang. Hal ini membuat pasokan telur tetap terbatas di tengah permintaan yang stabil, terutama selama musim liburan. Selain itu, volatilitas harga grosir telur juga menunjukkan ketidakpastian pasar. Pada November 2024 saja, harga grosir melonjak hingga hampir 55%, sementara harga ritel bervariasi tergantung strategi masing-masing pengecer.
Editor: Handoyo .