KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Polemik susu kental manis masih belum berakhir. Belum lama ini studi terbaru dari PP (Pimpinan Pusat) Aisyiyah dan Yayasan Abhipraya Insan Cendikia Indonesia (Yaici) menyatakan bahwa susu kental manis mengakibatkan gizi buruk pada anak di beberapa daerah seperti Provinsi Aceh, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Utara. Penelitian ini menyebutkan bahwa dari 1.835 anak usia 0-5 tahun, 12% mengalami gizi buruk dan 23,7% gizi kurang. Rinciannya 14,5% anak dengan status gizi buruk mengonsumsi susu kental manis (SKM) atau krimer kental manis (KKM) lebih dari 1 kali dalam sehari. Sedangkan 29,1% anak dengan status gizi kurang mengonsumsi SKM atau KKM lebih dari 1 kali dalam sehari. Jika data ini benar berarti ada 79% anak gizi buruk yang tidak mengonsumsi SKM. Dalam riset Yaici juga menyebut sebanyak 68% responden bisa membaca label pangan dan 67% membaca peruntukan SKM/KKM. Dan sejumlah 23% responden tetap memberikan produk pada bayi atau anak meskipun telah mendapatkan informasi bahwa SKM tidak diperuntukkan bagi bayi dan balita. Hal ini tentu menarik karena responden telah teredukasi dengan baik untuk membaca label dan keterangan pangan, tetapi tetap memilih untuk membeli SKM/KKM.
Harga terjangkau membuat susu kental manis masih dikonsumsi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Polemik susu kental manis masih belum berakhir. Belum lama ini studi terbaru dari PP (Pimpinan Pusat) Aisyiyah dan Yayasan Abhipraya Insan Cendikia Indonesia (Yaici) menyatakan bahwa susu kental manis mengakibatkan gizi buruk pada anak di beberapa daerah seperti Provinsi Aceh, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Utara. Penelitian ini menyebutkan bahwa dari 1.835 anak usia 0-5 tahun, 12% mengalami gizi buruk dan 23,7% gizi kurang. Rinciannya 14,5% anak dengan status gizi buruk mengonsumsi susu kental manis (SKM) atau krimer kental manis (KKM) lebih dari 1 kali dalam sehari. Sedangkan 29,1% anak dengan status gizi kurang mengonsumsi SKM atau KKM lebih dari 1 kali dalam sehari. Jika data ini benar berarti ada 79% anak gizi buruk yang tidak mengonsumsi SKM. Dalam riset Yaici juga menyebut sebanyak 68% responden bisa membaca label pangan dan 67% membaca peruntukan SKM/KKM. Dan sejumlah 23% responden tetap memberikan produk pada bayi atau anak meskipun telah mendapatkan informasi bahwa SKM tidak diperuntukkan bagi bayi dan balita. Hal ini tentu menarik karena responden telah teredukasi dengan baik untuk membaca label dan keterangan pangan, tetapi tetap memilih untuk membeli SKM/KKM.