KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengusulkan perbaikan regulasi avtur untuk mengatasi mahalnya harga tiket pesawat. Ketua KPPU Fanshurullah Asa mengatakan, KPPU telah menyampaikan rekomendasi kepada Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menkomarves) melalui surat saran dan pertimbangan pada tanggal 29 Januari 2024. Hal ini ditujukan untuk menindaklanjuti temuan kajian KPPU yang menyimpulkan bahwa pasar penyediaan BBM penerbangan (avtur) Indonesia memiliki struktur monopoli dan terintegrasi secara vertikal.
Baca Juga: Mahalnya Harga Tiket Pesawat Dikeluhkan Sejumlah Pihak Dalam kajian KPPU menemukan bahwa dalam rantai pasok penyediaan BBM penerbangan terdapat tiga kelompok kegiatan. Yakni pengadaan bahan bakar dari kilang yang kemudian disalurkan ke fasilitas penyimpanan (
fuel supply); penyaluran bahan bakar dari kilang atau kapal laut melalui pipa ke depot penyimpanan di kawasan bandar udara (
storage); dan penyaluran ke pesawat (
into plane services). Selanjutnya kajian KPPU menunjukkan konsep persaingan dapat diterapkan untuk tiap kelompok kegiatan atau dapat dilakukan secara terintegrasi dari
fuel supply hingga
fuel delivery. Dengan memperhatikan karakteristik proses supply chain penyediaan BBM penerbangan, sistem multi provider melalui open access dan prinsip co-mingle menjadi salah satu sistem yang sesuai dengan prinsip-prinsip persaingan usaha. Hal ini sebagaimana praktik internasional dan direkomendasikan oleh International Air Transport Association (IATA). Keberadaaan multi provider ditujukan untuk menciptakan persaingan dalam pengadaan dan pendistribusian. Dengan demikian, diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan menurunkan harga BBM Penerbangan. Sehingga dapat terjadi penurunan harga tiket pesawat, karena komponen biaya bahan bakar mencapai 38%-45% dari harga tiket pesawat. Berdasarkan hasil kajian tersebut, KPPU secara umum merekomendasikan Menkomarves untuk melakukan beberapa hal. Pertama, mendorong implementasi open access pada pasar penyediaan dan/atau pendistribusian BBM Penerbangan sebagaimana diatur dalam UU Migas dan peraturan pelaksanaannya. Kedua, mendorong implementasi sistem multi provider BBM Penerbangan untuk setiap kelompok kegiatan di bandar udara dengan memperhatikan beberapa kondisi. Antara lain kesiapan infrastruktur, peluang pelaksanaan lelang atau pemilihan atas rekanan, revisi Peraturan BPH Migas Nomor 13/P/BPH MIGAS/IV/2008, dan pembuatan regulasi teknis oleh BPH Migas terhadap pemanfaatan fasilitas pengangkutan dan penyimpanan bahan bakar yang sejalan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat. "KPPU berharap dengan adaptasi
open access dan sistem
multi provider tersebut, persaingan di pasar BBM penerbangan lebih terbuka dan efisien, sehingga mampu berkontribusi pada turunnya harga tiket penerbangan," jelas Ifan dalam konferensi pers, Selasa (6/2). Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Abra Talattov menyatakan persaingan bisnis avtur sangat tergantung dengan regulasi yang ada. Sebenarnya, dari sisi regulasi, badan usaha manapun diberikan kesempatan untuk bisa memasok avtur di bandara-bandara di Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya, badan usaha baru yang mau masuk ke bisnis avtur tidak bisa hanya membuka fasilitas pengisian atau Depot Pengisian Pesawat Udara (DPPU) di bandara-bandara besar saja. Abra menyebut, kesetaraan dalam persaingan ini tentu harus mengikuti regulasi.
Baca Juga: KPPU Menyigi Monopoli Avtur dan Proyek Jaringan Gas (Jargas) Artinya memang para investor di bisnis avtur ini harus mau merogoh kocek investasi dalam untuk membangun depo avtur di berbagai bandara lain di luar Pulau Jawa karena pasti akan sangat berbeda dari sisi
cost structure juga,” jelas Abra. Dalam catatan Kontan.co.id, Shell pernah menyemarakkan bisnis avtur di Indonesia. Namun pada September 2009, Shell Aviation tidak memasok avtur lagi.
Fenomena keluarnya Shell dari bisnis avtur ini dijelaskan Abra salah satunya karena faktor persaingan bisnis. Dalam konteks persaingan bisnis yang adil, perusahaan pemasok avtur harus memenuhi minimal jumlah bandara yang harus disiapkan dan dipasok. Hal ini tidak mudah bagi setiap badan usaha untuk mempertahankan bisnis avturnya. "Bisa jadi, jika menjual di bandara besar dari sisi volume penjualan di atas target, tetapi bisa jadi bandara kecil dari sisi keekonomian dan aspek bisnis tidak memenuhi target. Jadi ada semacam subsidi silang di dalam bisnis avtur ini,” terangnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .