KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pengamat Penerbangan, Alvin Lie menilai tingginya harga tiket pesawat yang menjadi sorotan publik belakangan ini, tak sebanding dengan naiknya biaya operasional maskapai (Airlines) sejak beberapa tahun ke belakang. “Harga tiket dibilang mahal, tapi maskapai penerbangan berdarah-darah. Lantas siapa yang benar?” ujarnya kepada Kontan.co.id, Kamis (5/7). Alvin menjelaskan bahwa Tarif Batas Atas (TBA) maskapai penerbangan tidak mengalami perubahan sejak tahun 2019 atau dalam lima tahun terakhir. Sejalan dengan itu, lanjut dia, biaya operasional maskapai turut mengalami lonjakan.
“Biaya operasi airlines sudah naik signifikan dalam lima tahun. Harga avtur tahun 2019 sebesar Rp 9.500 per liter (dengan) kurs dolar AS saat itu di Rp 12.400,” jelas dia. Alvin menuturkan bahwa mahal atau murahnya harga tiket pesawat itu relatif terhadap daya beli masyarakat. Dia bilang, berdasarkan hasil survei yang dilakukan Asosiasi Profesional Jasa Penagihan Indonesia (APJAPI) harga tiket pesawat terbilang wajar.
Baca Juga: Harga Avtur Tinggi, Pengamat Beberkan Segudang Persoalan “Survei APJAPI pada bulan Februari 2024 menunjukkan 77% penumpang pemegang
boarding pass menilai harga tiket masih dalam koridor wajar,” pungkasnya. Diberitakan sebelumnya, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (
GIAA) menekan pemerintah untuk segera mengupayakan revisi TBA tiket pesawat, guna menjaga pendapatan di tengah penguatan dolar AS yang berdampak pada harga bahan bakar. Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra menjelaskan, revisi TBA itu juga perlu segera direalisasikan mengingat beban operasional yang ditanggung maskapai tidaklah murah. Salah satunya, untuk menutup biaya sertifikasi pilot yang tinggi. “Perlu dipahami ya, ini industri yang
highly regulated, sudah kayak perbankan lah di bawah sedikit. Nah untuk bisa jadi peserta di industri ini harus ikuti regulasi, untuk ikuti regulasi itu biayanya mahal,” kata Irfan.
Irfan menyebut, urgensi revisi TBA itu sudah di depan mata. Pasalnya, TBA belum berubah sejak lima tahun terakhir. Karenanya, regulasi itu dipandang tidak lagi relevan dengan pergerakan komponen yang digunakan. Terlebih, harga avtur yang makin mahal akibat melemahnya rupiah, ini turut dijadikan pertimbangan agar pemerintah segera mengerek TBA tersebut. “Coba, dolar AS berapa kursnya? Avtur berapa? Sekarang (rupiah) sudah Rp 16.000 kan (per dolar)? Kan ini banyak kita masih pakai komponen dolar AS, gitu loh. Jadi, saya memang terus terang terbuka minta TBA ini dinaikkan supaya kita juga bisa napas kan,” tambahnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari