Harga timah bersiap meleleh



JAKARTA. Harga timah naik (rebound) setelah sempat menyentuh level terendah di level US$ 16.850 per metrik ton. Namun, kenaikan ini dinilai semu belaka.

Mengutip Bloomberg, Selasa (24/3), kontrak timah pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange (LME) berada di level US$ 17.650 per metrik ton. Harga naik 2% dibandingkan hari sebelumnya. Sementara dalam sepekan terakhir, harga naik 0,59%. Harga timah sempat terjungkal menuju level terendah pada penutupan Rabu (18/3) di level US$ 16.850. Ini merupakan harga terendah sejak Juni 2010.

Ibrahim, analis dan Direktur PT Equilibrium Komoditi Berjangka mengatakan, harga timah tersentak oleh data HSBC manufaktur PMI China yang hasilnya secara mengejutkan di luar ekspektasi. Manufaktur China bulan Februari di rilis sebesar 49,2. Angka ini lebih rendah dibanding prediksi sebesar 50,5.


Melesetnya aktivitas manufaktur China akan turut membebani kinerja timah. Sebab, China merupakan importir terbesar timah. Lesunya aktivitas manufaktur memunculkan kekhawatiran akan anjloknya permintaan timah dari Negeri Tirai Bambu tersebut.

“Pasca menyentuh level terendahnya, harga timah berangsur-angsur pulih. Penguatan ini didukung oleh pelemahan indeks dollar,” ujar Ibrahim.

Selanjutnya, kata Ibrahim, sentimen akan tarik-menarik mempengaruhi pergerakan timah. Sentimen tersebut berasal dari Amerika Serikat (AS), dimana komentar Wakil Gubernur Bank Sentral AS, Stanley Fischer mengatakan kenaikan suku bunga akan dilakukan pada akhir tahun 2015. Di lain pihak, AS merevisi pertumbuhan ekonominya dari 2,5%-2,9% pada tahun ini menjadi 2,3%-2,5%. Kedua faktor tersebut memberikan dampak negatif terhadap dollar AS, sehingga harga timah berpeluang menguat.

Sentimen lainnya yang patut dipertimbangkan, datang dari Zona Eropa. Saat ini, Yunani sudah ada kesepakatan dengan Uni Eropa. Yunani diharuskan menghormati komitmen utangnya terhadap semua kreditur. Ini juga sinyal positif bagi timah. Namun, sentimen dari AS dan Eropa tersebut tidak lebih kuat dibandingkan sentimen dari China. Buruknya aktivitas manufaktur China menandakan kontraksi ekonomi yang belum hilang.

“Secara jangka pendek, harga timah masih cenderung ambruk. Harga timah belum sanggup bertahan di level tinggi meski Indonesia melakukan pengetatan ekspor. Sebab, kondisi ekonomi global sedang melemah,” imbuh Ibrahim.

Secara teknikal, harga timah menunjukkan penurunan. Indikator yang paling menegaskan tekanan harga adalah stochastic yang berada 70% dengan arah negatif. Bollinger band dan moving average berada 20% di tasa boollinger tengah. Moving average convergence divergence (MACD) masih wait and see. Sementara relative strength index (RSI) berada 60% di area negatif.

Ibrahim bilang, ruang penguatan bagi timah masih terbuka. Saat harga menyentuh level tertinggi, ini memberikan kesempatan bagi pelaku pasar untuk melakukan aksi ambil untung (taking profit). Selanjutnya, harga akan kembali melandai.

Ibrahim memprediksi harga timah Rabu (25/3) akan bergerak di kisaran US$ 17.510-US$ 17.680 per metrik ton. Sementara sepekan mendatang, harga timah terbentang di level US$ 17.400-US$ 17.690 per metrik ton.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia