Harga timah naik, TINS mengilap



JAKARTA. Emiten tambang masih berhati-hati dengan sentimen global. Terutama, kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) terpilih Donald Trump yang bisa memengaruhi harga komoditas.

PT Timah Tbk (TINS) tahun ini masih diuntungkan tren kenaikan harga komoditas logam timah. BUMN ini harusnya bisa merasa aman untuk proyeksi tahun depan.

Namun, TINS masih mewaspadai kebijakan moneter kabinet Trump yang baru terbentuk Januari 2017 nanti. "Keputusan kebijakan AS akan berdampak, apakah melakukan proteksi atau tidak. Imbasnya volume ekspor dan harga akan terimbas," kata Sekretaris Perusahaan TINS Agung Nugroho kepada KONTAN, Jumat (16/12).


Hanya, Agung belum bisa memastikan dampaknya akan melemahkan atau justru menguatkan harga timah. Yang jelas, tren kenaikan harga yang sudah dirasakan pada pertengahan tahun ini sudah mendorong pertumbuhan harga jual rata-rata timah TINS ke US$ 21.000 per ton.

Masalah lainnya, kenaikan suku bunga The Fed semakin memperkuat nilai tukar dollar AS. Agung pun mengkhawatirkan rencana bank sentral AS mengerek suku bunga lebih agresif tahun depan.

Dari sisi kinerja, biaya produksi TINS hingga kuartal tiga tahun ini mencapai Rp 3,42 triliun, menyusut dari periode sama tahun lalu Rp 3,82 triliun berkat efisiensi. Mereka menghentikan fasilitas produksi yang tidak efisien.

Imbasnya, kinerja keuangan TINS terkerek dari kenaikan harga timah dan efisiensi biaya. Laba TINS juga meningkat empat kali lipat pada kuartal III jadi Rp 50,6 miliar dari Rp 10,3 miliar di periode sama tahun lalu. Lonjakan laba ini terjadi di tengah penurunan penjualan 9% jadi Rp 4,68 triliun dari Rp 5,14 triliun.

Tambah produksi

Sayang, Agung masih belum bisa membeberkan strategi perusahaannya tahun depan. Tapi, TINS berencana mendongkrak produksi 10%–20% atau sekitar 30.000 ton.

TINS juga akan menambah belanja modal tahun depan. "Angka pastinya masih kami susun, pokoknya di atas Rp 600 miliar," ujar Agung. Tahun ini TINS menganggarkan belanja modal sebesar Rp 600 miliar, yang digunakan untuk penambahan dua kapal produksi serta perawatan fasilitas yang sudah ada.

Sebagai informasi, TINS merupakan salah satu produsen timah terbesar di dunia. Porsi ekspornya hingga akhir tahun ini mencapai 55%–60%. Mereka mengantongi izin usaha pertambangan sebanyak 117 unit, dengan total luas wilayah penambangan 511.361 hektare. Emiten pelat merah ini memiliki cadangan biji timah mencapai 328.392 ton dari total sumber daya 801.882 ton di darat dan laut.

Tak hanya jualan timah, TINS melakukan diversifikasi bisnis agar bertahan dari fluktuasi harga timah. TINS menggarap produk hilir, seperti tin chemical, tin solder, serta thorium. "Tahun depan pengembangan thorium untuk bahan bakar pembangkit listrik," ungkap Agung.

TINS juga mengembangkan bisnis jasa perkapalan, rumah sakit, properti, dan agribisnis. Bisnis jasa perkapalan tahun depan akan melakukan pembenahan graving dock di Selindung, Pangkal Pinang, serta membentuk bisnis pengerukan melalui PT Dok & Perkapalan Air Kantung.

TINS lewat PT Rumah Sakit Bakti Timah (RSBT) memiliki empat rumahsakit yang akan diubah jadi rumahsakit modern. Empat klinik utama akan disulap menjadi rumahsakit tipe D yang menelan biaya investasi Rp 397 miliar. RSBT direncanakan melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 2018 atau 2019.

Lalu, PT Timah Karya Persada Property mulai menjual properti di Bekasi, Kelapa Dua, dan Iskandarsyah. Melalui PT Timah Agro Manunggal, TINS menyiapkan penggemukan sapi potong berkapasitas 1.000 sapi. "Tahun depan target jualan sapi 1.000 sapi per bulan," kata Agung.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini