Harga timah sudah melesat 44,22% sejak 2015



JAKARTA. Perkara pasokan juga jadi faktor yang mendukung kenaikan harga timah sepanjang tahun. Imbas negatif dari penguatan USD pun gagal menjegal laju harga komoditas logam industri ini.

Mengutip Bloomberg, Rabu (28/12) pukul 13.50 WIB harga timah kontrak pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange merosot 0,51% ke level US$ 20.992 per metrik ton dibanding hari sebelumnya. Hanya saja sejak akhir tahun 2015 lalu harga timah sudah melesat 44,22%.

Ibrahim, Direktur PT Garuda Berjangka menjelaskan keringnya pasokan timah global juga turut menguntungkan pergerakan harga komoditas logam industri ini. Ketatnya aturan ekspor timah di Indonesia yang berlangsung beberapa waktu terakhir menjadi penyebab mengempisnya pasokan secara global. Apalagi produksi Myanmar yang diharapkan bisa mengisi kekosongan pasokan akibat keterbatasan ekspor dari Indonesia ternyata gagal memenuhi harapan pasar.


Hal ini disampaikan oleh International Tin Research Institute (ITRI) yang memperkirakan sepanjang 2016 ini produksi Myanmar stagnan di level 50.000 ton. Mengarahkan ITRI kepada dugaan bahwa di tahun ini stok global timah hanya di sekitar 25.000 ton atau jauh di bawah stok 2009 silam lalu yang mencapai 65.000 ton. “Terlihat jelas semakin mendekati penutupan tahun, pergerakan harga timah justru makin memuaskan,” kata Ibrahim.

Ini juga yang membawa harga timah pada 7 November 2016 lalu menyentuh level tertingginya sejak Agustus 2014 di level US$ 21.845 per metrik ton. Salah satunya datang dari laporan PT Timah Tbk bahwa produksi timahnya di kuartal tiga 2016 turun 2% dibanding kuartal tiga 2015 lalu.

Padahal di saat yang bersamaan, aktivitas industri baik di China dan AS terus membaik. Ditambah lagi World Bureau of Metal Statistics mencatatkan terjadi defisit pasokan timah sebesar 28.800 metrik ton sepanjang periode Januari – Oktober 2016 di pasar global.

Ibrahim menilai peluang koreksi tetap ada, meski potensi untuk kembali mengulang catatan buruk seperti yang pernah terjadi 15 Januari 2016 lalu saat harga menyentuh level terendahnya sejak Agustus 2009 di US$ 13.300 per metrik ton masih cukup kecil. “Kekurangan pasokan ini masih akan berlanjut, tapi perlu mewaspadai aksi produsen yang akan menggenjot produksi demi memanfaatkan kenaikan harga,” perkiraan Ibrahim.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Adi Wikanto