Harga tuna menyusut, 800 kapal nelayan berhenti berburu tuna



JAKARTA. Berita kurang sedap bagi penangkap ikan tuna. Pada awal bulan Mei ini, harga ikan tuna di pasar Jepang terus merosot.

Data Asosiasi Pengusaha Kapal Pengangkut Ikan Indonesia (APKPII) menunjukkan, harga tuna hanya ¥ 400 per kilogram (kg). Padahal, harga normal tuna di sana berkisar di angka ¥ 900-¥ 1.000 per kg (kurs ¥ 1= Rp 105).

Ang Sakiman, Ketua Umum APKPII mengatakan, penurunan ini merupakan imbas dari bencana gempa dan tsunami yang melanda Jepang pada awal Maret 2011. Selepas bencana tersebut, masyarakat Jepang dicemaskan paparan radiasi nuklir akibat rusaknya reaktor nuklir yang berada di Prefektur Fukushima.


Masyarakat Jepang khawatir air dan produk-produk perikanan termasuk tuna ikut terpapar radiasi nuklir. Akibatnya, permintaan dan konsumsi tuna masyarakat Jepang menurun drastis. "Mereka enggan mengkonsumsi tuna," jelasnya Ang kepada KONTAN, Minggu (1/5).

Dwi Agus Siswa Putra, Sekretaris Jenderal Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) menambahkan, anjloknya harga ini juga karena ada penurunan daya beli masyarakat Jepang setelah dihantam bencana besar tersebut. Bencana itu telah merenggut harta benda ratusan ribu warga masyarakat Jepang.

Akibatnya, hingga kini, kemampuan finansial banyak keluarga di Jepang belum pulih benar. Padahal, tuna juga merupakan salah satu makanan yang tinggi. "Mereka menghentikan dulu konsumsi tuna," kata Dwi.

Victor Nikijuluw, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengatakan, penurunan tersebut tentu saja wajar terjadi mengingat Jepang masih dalam tahap pemulihan setelah dihantam gempa dan tsunami. Apalagi, korban bencana ini juga sangat besar, mencapai sekitar 300.000 orang. "Jumlah konsumennya turun, otomatis harga turun," ujar Victor.

Dampak dari penurunan harga tersebut tentu saja sangat serius bagi industri penangkapan ikan tuna di Indonesia. Soalnya, biaya penangkapan tuna sangat tinggi, terutama biaya pembelian bahan bakar solar.

Ang menjelaskan, harga solar sekarang sudah menyentuh Rp 9.950-Rp 10.000 per liter dari tadinya sekitar Rp 4.500-Rp 5.000 per liter. Pemerintah hanya memberi solar bersubsidi sebanyak 75 kiloliter (kl) per satu unit kapal yang pengambilannya dicicil yaitu sebanyak 25 kl per bulan selama tiga bulan. Padahal, waktu beroperasi kapal tuna bisa mencapai lima-tujuh bulan dan menghabiskan solar sekitar 100 ton.

Maka, kini banyak pengusaha kapal nelayan yang tadinya menangkap ikan tuna mulai beralih menangkap tongkol, cumi-cumi, dan cakalang. Apalagi, waktu melaut untuk menangkap ikan-ikan tersebut relatif lebih cepat, yaitu sekitar dua bulan dan menghabiskan solar sekitar 30 ton saja. Tentu saja, ini jelas lebih ringan bila dibanding dengan penangkapan tuna. "Daripada tetap menangkap tuna tetapi terus merugi, lebih baik menangkap ikan lain," kata Ang.

Edi Yuwono, Ketua Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin), membenarkan adanya problem tersebut. Menurutnya, beban bahan bakar yang mesti dikeluarkan pengusaha kapal memang besar. "Akibatnya biaya penangkapan semakin tinggi dan memberatkan pengusaha," ujar Edi.

Ia berharap, pemerintah bisa lebih bijak terutama dalam pemberian subsidi solar bagi nelayan. Pemerintah sebaiknya memberikan subsidi solar yang sebanyak 75 kl itu sekaligus di muka, bukan dicicil per bulan.

Pasar potensial lain

Penurunan harga tuna di Jepang telah berdampak buruk terhadap aktivitas kapal penangkap tuna di Indonesia. Ang menjelaskan, saat ini, sekitar 800 unit kapal penangkap tuna yang biasanya mangkal di pelabuhan Muara Baru, Jakarta Utara, berhenti menangkap tuna.

Para nelayan di sama merasa aktivitas menangkap tuna sudah tidak menguntungkan lagi. Sekali lagi, pendapatannya lebih rendah ketimbang biaya penangkapan tuna.

Meski kondisi Jepang masih buruk, Victor bilang, Indonesia belum memiliki rencana untuk mengalihkan pasar tuna ke negara lain. Menurutnya, Jepang sudah telanjur menjadi pasar utama ikan tuna segar dari Indonesia. Lagi pula, Jepang merupakan negara konsumen ikan tuna segara terbesar di dunia.

Meskipun demikian, upaya untuk terus mengembangkan pasar tuna tetap ada. Misalnya saja, kata Victor, Indonesia sedang menjajaki pasar-pasar potensial seperti Korea Selatan, Taiwan dan Cina. Pemerintah sedang menelaah kondisi makro maupun mikro di negara-negara tersebut. "Saat ini tuna masih difokuskan ke Jepang," tuturnya.

Victor sendiri memprediksi penurunan harga tuna di Jepang tersebut hanya bersifat sementara. Ia memperkirakan, dalam tiga bulan ke depan akan berangsur normal. Tentu saja, bila proses recovery pasca gempa berjalan cepat dan mulus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini