Sebagai Ketua Dewan Pembina Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) dan pelaku usaha selama 22 tahun, Harijanto mengaku sangat gembira atas pencanangan Hari Sepatu. Dia langsung meminta Aprisindo membuat proposal agar Kementerian Perdagangan menetapkan 9 Maret sebagai Hari Sepatu Nasional. Setiap 9 Maret, asosiasi akan membuat acara khusus sebagai bentuk kampanye pemakaian sepatu lokal. Harijanto ingin kampanye seperti ini tidak berhenti untuk menumbuhkan rasa cinta produk dalam negeri. “Kalau berkualitas kurang baik, mari kita bina bersama. Bila tak ada dana, pemerintah yang harus membantu,” kata Harijanto. Selama ini, dia menilai, pemerintah kurang fokus dan konsisten dalam membantu usaha. Lantas, seperti apa kondisi industri sepatu Tanah Air? Apa tantangan dan peluangnya? Jurnalis KONTAN Lamgiat Siringoringo dan Herry Prasetyo mewawancarai pemilik merek sepatu Piero dan Starmon ini, Kamis (24/3). Inilah nukilannya.
KONTAN: Apa yang bisa diharapkan dari Hari Sepatu? Di satu sisi sok cinta produk dalam negeri tapi masih banyak sepatu impor, resmi atau ilegal, yang beredar? HARIJANTO: Ini bukan kontradiksi sebenarnya. Memang Indonesia memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan China. Banyak orang yang komplain. Tapi, sebenarnya mereka itu takut bersaing. Saya tidak takut dengan produk China, karena saya merasa bisa bersaing. Orang sering bilang produk China itu murah, sekarang sudah tidak ada di sepatu. Kalau 10 tahun lalu, itu benar. Yang kita khawatirkan itu bagaimana kita mengembangkan kompetensi industri kita.Saat ini, pendapatan masyarakat kita terus tumbuh dan semakin tinggi. Dulu, mereka beli sepatu murah. Tapi, seiring pendapatan lebih tinggi, mereka naik kelas beli sepatu yang lebih pantas. Kalau slot ini tidak diisi pengusaha kita, pasti akan masuk barang impor. Tidak harus dari China. Kalau barang China mahal, namanya pedagang akan mencari barang dari India, Bangladesh, dan lainnya. KONTAN: Tapi, benar, kan, produk sepatu lokal semakin tergencet sepatu impor dari China?HARIJANTO: Masa, sih? Bukannya sudah lama industri sepatu lokal tergencet sepatu China? Saking lamanya, bertahun-tahun digencet sampai tak terasa ha ha ha... KONTAN: Lalu, seperti apa kondisi terkini industri sepatu di Indonesia?HARIJANTO: Berbicara industri sepatu Indonesia harus melalui dua pendekatan, sisi ekspor dan pasar dalam negeri. Seringkali, orang bingung karena mencampuradukkan keduanya. Bicara ekspor, industri sepatu kita lebih baik dari tahun 2009 ke belakang. Sebelumnya, dari tahun 2005–2008 itu masa susah industri sepatu melakukan ekspor. Tahun 2009 mulai merangkak membaik. Konsumen sepatu dunia melihat produk Indonesia masih kompetitif. Sekarang, nilai ekspor tahun 2010 sudah menyamai pencapaian tahun 1996, yaitu US$ 2,5 miliar. Saya perkirakan pada 2011 ini, nilai ekspor sepatu kita akan tembus di atas US$ 3,2 miliar, bila semuanya berjalan lancar. Soalnya, saat ini ada beberapa proyek pembangunan pabrik terpaksa mundur karena kawasan industri yang belum siap. KONTAN: Jadi ekspor aman?HARIJANTO: Untuk ekspor, kami tak perlu khawatir. Yang harus kami jaga, jangan sampai kita menganggap pencapaian ini sudah hebat. Sebenarnya belum apa-apa. Karena nilai ekspor kita ini kalah jauh dari Vietnam yang sebesar US$ 6 miliar dan, apalagi, China yang mencapai US$ 50 miliar.Sampai saat ini profil industri sepatu kita sangat unik. Indonesia sangat kuat dari segi ekspor sepatu atletik. Dari nilai ekspor US$ 2,5 miliar, porsi sepatu atletik itu 85%–90%. Artinya, ekspor sepatu nonatletik hanya sekitar US$ 300 juta. Makanya, sejak zaman saya di Aprisindo, saya menekankan untuk menggalakkan ekspor sepatu nonatletik dan baru tahun 2006 mulai jalan. Tapi, memang masalah ini sangat kompleks. Lantaran kita mencoba export driven untuk memperkuat cadangan devisa dan menggerakkan ekonomi, ekspor sepatu atletik menjadi pilihan. Volume dan penyerapan tenaga kerjanya memang besar. KONTAN: Mengapa ekspor sepatu nonatletik sulit?HARIJANTO: Pertama, ekspor sepatu nonatletik sangat bergantung pada industri yang skala usahanya tidak besar tapi banyak. Skala yang kecil menyulitkan proses manajemen. Tidak ada industri sepatu nonatletik yang pegawainya besar hingga 10.000 orang, paling-paling 300 orang. Kalau sampai 1.000– 2.000 orang itu sudah tergolong besar. Kebanyakan masuk kategori home production.Kedua, standardisasi proses dan kualitas produk itu sangat beraneka macam. Tidak seperti sepatu atletik yang kebanyakan satu macam saja. Belum lagi soal kualitas. Soalnya, keluhan yang muncul dari pemakai, ada sepatu dengan jenis dan ukuran sama enak dipakai tapi ketika beli lagi berbeda rasanya.Akibat dominasi home industry seperti ini, pemerintah harus memberi perhatian lebih untuk membina mereka. Masalah ini sudah kami usulkan sejak sebelum krisis moneter tahun 1997 lalu. Kelemahan kita itu tidak konsisten sehingga tidak fokus. Belum lagi masalah birokrasi.
KONTAN: Apakah ini bukan karena para pemain sepatu yang besar enggan bermain di sepatu kulit?HARIJANTO: Masalahnya bukan tidak mau bermain, tapi tidak memiliki kompetensi di sepatu kulit. Anda biasa jualan soto bertahun-tahun dan sekarang harus berdagang rawon. Bisa saja Anda membuat rawon, tapi belum tentu laku, kan?
Selengkapnya di Tabloid KONTAN edisi 28 Maret-3 April 2011. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Edy Can