Harry Kiss, insinyur elektro yang jaya di bisnis tata suara



Bermula dari menekuni hobi, kini, Harry Aprianto Kissowo sukses di bisnis penjualan speaker berkualitas, penyewaan perangkat sound system, dan penyelenggara acara. Produk sound system-nya diminati oleh pembeli dari mancanegara. Ide berwirausaha bisa datang dari mana saja, termasuk dari hobi. Asal dijalankan dengan sepenuh hati, hobi itu bisa menjadi bisnis yang menguntungkan. Harry Aprianto Kissowo atau lebih akrab dipanggil Harry Kiss telah membuktikannya. Hobi elektro mengantarkannya sukses berbisnis perangkat speaker berkualitas dengan merek V8sound.com. Harry adalah pemilik sekaligus Direktur PT Tiga Bintang Nusantara, produsen V8sound.com. Merek dagang ini telah mengharumkan nama Indonesia dalam ajang Messe Frankfurt Prolight + Sound awal April 2011 silam. Pembeli dari 19 negara seperti Jepang, Amerika Serikat, Rusia, dan Italia memesan speaker merek V8sound.com. Nilai transaksinya mencapai US$ 3,8 juta, lebih besar dari nilai transaksi setahun sebelumnya yang mencapai US$ 2,2 juta. “Banyak yang tidak percaya Indonesia bisa membuat speaker,” kata Harry.Di dalam negeri, produk V8sound.com lebih banyak disewakan untuk event besar seperti konser musik, acara televisi, upacara kenegaraan, dan lainnya. Sayang, ia enggan mengungkap omzet dari penjualan produk V8sound.com dan dari bisnis penyewaannya. “Kalau ditanya berapa duit yang kami pegang, saya enggak tahu. Tapi, berapa nilai barang yang kami miliki, bisa miliaran,” katanya. Menjadi pengusaha seperti sekarang sebenarnya bukan tujuan hidup Harry. Sejak kecil, anak keempat dari lima bersaudara ini bercita-cita menjadi insinyur. Ibunya, Sudarsih, penyanyi keroncong asal Semarang, berpesan agar Harry bekerja di lingkungan yang membuatnya ikut bahagia. Adapun sang ayah yang bekerja di Radio Republik Indonesia (RRI) tidak banyak menuntut. Tapi, secara tidak langsung, Harry belajar tentang sistem tata suara dari sang ayah. “Saya sudah diperkenalkan berbagai perangkat audio di studio RRI di Semarang sejak kecil,” kenangnya.Dengan latar belakangnya yang erat dengan dunia suara, pria asal Semarang, Jawa Tengah, ini tetap setia dengan cita-citanya untuk menjadi insinyur. Itulah sebabnya, selepas sekolah menengah atas (SMA), ia masuk ke jurusan teknik elektro di Universitas Indonesia. Selama kuliah, pria kelahiran 5 Oktober 1961 ini sudah berbisnis. Lahir bukan dari keluarga yang berkecukupan, Harry ingin ikut meringankan beban orang tua untuk membiayai kuliahnya. Kebetulan, sejak SMP, ia dan keluarganya pindah ke Jakarta. “Saya berjualan kue sus bikinan ibu,” katanya.Selulus kuliah, sekitar tahun 1986, Harry memutuskan menjadi dosen di almamaternya. Dengan banyak waktu luang sembari mengajar, ia juga bekerja sambilan. Hobinya merancang dan menggambar mendorongnya mendirikan perusahaan mebel dan arsitektur. Tahun 1988, ia berkesempatan belajar soal rekaman di Puspita Record, perusahaan rekaman milik rekan ayahnya.Menjadi event organizerHarry hanya bertahan sebagai pengajar di Jurusan Elektro UI selama lima tahun. Saat itu, UI mencanangkan kewajiban dosen full time di kampus. Alhasil, ia lebih memilih meninggalkan jabatan dosen dan serius menggarap Puspita Record. “Sebagai pemilik Puspita record, Pak Hartono seperti guru dan ayah untuk melangkah ke bisnis event organizer dan akhirnya ke bisnis audio,” katanya. Di Puspita Record, tugas Harry adalah menggandakan kaset. Di luar rekaman musik, peluang bisnis pertama yang ia garap adalah merekam dan menggandakan isi presentasi seminar Network 21 (Amway). “Saya pikir, mereka mau pesan 5.000 kaset, ternyata cuma 150 kaset,” katanya. Meski begitu, ia tetap mengerjakan sepenuh hati sampai akhirnya pesanan terus bertambah menjadi 10.000 kaset per bulan. Melihat acara seminar Network 21, Harry melihat peluang lain, yakni bisnis penyelenggara acara atau event organizer (EO). Ia lantas mendirikan Harry Kiss Production dengan proyek awal menggarap pertemuan para agen yang bergabung dalam Network 21. “Kalau saja saya tidak jeli melihat peluang kecil, saya tidak akan menjadi seperti sekarang,” katanya.Agar lebih konsentrasi di bisnis barunya itu, pelan-pelan, Harry melepas Puspita Records. Masukan dan kritik dari klien soal kualitas tata suara panggung selama menjadi EO mendorongnya untuk terjun ke bisnis perlengkapan tata suara. “Waktu itu, banyak klien komplain soal kualitas. Jadi, saya berpikir untuk punya sound system sendiri,” katanya. Tapi, saat itu, harga sound system impor cukup mahal. Alhasil, ia berusaha membuat produk lokal dengan kualitas tinggi. Harry lantas belajar dari ahli yang tahu suku cadang dan material alat musik berkualitas seperti MeyerSound. Sebagai lulusan teknik elektro, tak sulit baginya menemukan formula yang pas. Tahun 2004, ia mendirikan pabrik speaker merek V8sound.com di Tangerang. Kini, Harry memiliki puluhan produk speaker untuk keperluan berbeda. Rencananya, ia juga bakal membuat mikrofon dan sound mixer.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Tri Adi