Harsya Prasetyo: Investasi, pentingnya bekal ilmu



JAKARTA. Pengetahuan yang cukup tentang sebuah instrumen investasi sebelum memutuskan untuk menempatkan aset, adalah salah satu syarat utama yang harus dimiliki investor."Ketika membeli saham, Anda harus paham saham apa yang Anda beli," ujar Harsya Prasetyo, Senior Vice President Retail Investment and Consumer Treasury Head di Citi Indonesia.

Pengalaman pertama berinvestasi nan pahitlah yang membuat Harsya ketat memegang prinsip tersebut. Dua belas tahun silam ketika masih menempuh studi di Australia, Harsya memberanikan diri berinvestasi di saham perusahaan tambang dan telekomunikasi di Aussie. "Memilih sahamnya berdasarkan rekomendasi teman," cerita dia.

Malang, harga saham tambang pilihannya terus menurun. Ketika itu, Harsya masih tenang, toh saham adalah investasi jangka panjang.


Namun, perusahaan tersebut akhirnya dicopot alias delisting dari bursa. Sedangkan investasi Harsya di saham telekomunikasi juga memble, modal beli bahkan tidak kembali. "Saya tidak mau lagi investasi hanya berdasar apa kata teman," kenangnya.

Saat pulang ke Indonesia, Harsya beralih mencoba investasi di reksadana pendapatan tetap dan valuta asing. Setelah pergi lagi ke Australia mengambil gelar profesi Chartered Financial Analyst (CFA), dia mulai serius berinvestasi. Pilihannya, reksadana saham, pendapatan tetap, dan saham.

Diversifikasi risiko

Harsya mengaku, sempat panik, seiring terjadinya tsunami di pasar keuangan global tahun 2008. "Panik karena sempat cutloss -30%," kata dia. Harsya mengungkapkan, ketika itu dia masih terbawa emosi, terseret arus pasar hingga overtrading.

Pengalaman dramatis ini membuat Harsya serius melakukan diversifikasi aset untuk membagi risiko. Selain di reksadana saham, dia juga menyebar dana investasinya ke obligasi dan properti.

Ia mengakui, kendati telah melakukan diversifikasi aset, bukan tidak mungkin investor gagal menghindar dari kerugian. Pasalnya, ketika pasar keuangan terperosok, semua jenis investasi di pasar mulai dari saham, obligasi, hingga komoditas, jatuh serempak. "Jadi, di saat krisis terjadi, diversifikasi investasi kadang menjadi tidak begitu berarti," ujar dia.

Namun, menurut Harsya, diversifikasi aset akan sangat bermanfaat ketika investor sudah membekali diri dengan dana tunai yang cukup sebagai siasat bertahan (holding power). "Jadi ketika pasar jatuh, kita bertahan mempertahankannya. Masalahnya, kebanyakan orang tidak tahan karena pasti butuh duit saat pasar minus," tutur dia.

Agar tetap tenang ketika terjadi guncangan pasar, Harsya menyarankan, agar para investor selalu membekali diri dengan dana darurat minimal sebesar 12 kali biaya hidup bulanan. "Dengan adanya dana darurat, manfaat diversifikasi aset baru terasa," ujar Harsya.

Usai merasakan kejatuhan pasar tahun 2008, selain tetap memilih saham, Harsya kini juga fokus menanam modalnya di reksadana saham sebagai investasi jangka panjang. Karena tujuan investasinya adalah jangka panjang, Harsya tidak panik, kendati nilai turun akibat tekanan pasar global.

"Rata-rata harga beli saya masih rendah, tapi tidak mengapa. Saya merasa hidup saya jadi lebih nyaman, lebih tenang," tandasnya.

Agar berinvestasi menjadi lebih fokus, Harsya menekankan pentingnya untuk menetapkan tujuan investasi. Tanpa memiliki tujuan yang pasti, kondisi pasar yang fluktuatif bisa membuat investor tidak nyaman terhadap investasinya. "Mau harga besok lebih mahal, tapi terlanjur kita jual hari ini, tidak perlu menyesal. Yang penting tujuan investasi kita tercapai," tutur dia.

Fokus investasi Harsya saat ini adalah menyiapkan dana pendidikan untuk anak-anaknya. Tujuan lain adalah menyiapkan dana pensiun dan warisan.

Lukisan sebagai investasi lanjutan

Sebagai profesional di industri keuangan, bukan hal aneh jika Harsya Prasetyo lebih banyak memutar dananya di produk financial market. Namun, Harsya mengaku sejatinya dia mulai tertarik peluang berinvestasi di lukisan.

Minat itu muncul semenjak Harsya mendatangi pameran lukisan di Melbourne, Australia, tahun 2004 silam. Salah satu lukisan bergaya impressionisme yang dipamerkan adalah karya Van Gogh.

Harsya jatuh hati dan memendam keinginan untuk bisa memilikinya suatu hari nanti. "Saking sukanya, waktu itu saya berpikir, beli lukisan repro-nya pun saya mau jika tidak mendapatkan yang asli," kata Harsya.

Semakin banyak mendengar tentang cukup luasnya peluang berinvestasi di lukisan, Harsya semakin berhasrat mengoleksi lukisan. Setidaknya dalam dua tahun mendatang, lukisan bisa masuk dalam portofolio investasinya. "Memang fokusnya baru sebatas kecintaan," kata Harsya.

Untuk saat ini, Harsya mengaku masih terhalang keterbatasan waktu dalam memilih lukisan yang cocok untuk dikoleksi sekaligus juga sebagai investasi.

Selain lukisan, lelaki kelahiran 34 tahun silam ini juga berencana memiliki properti kedua. Meski dia menilai, berinvestasi di properti risikonya cukup besar. "Idealnya, properti kedua harus cukup mahal supaya nilai sewanya juga mahal," katanya.

Dengan demikian, Harsya bisa memiliki dana cukup sebagai kompensasi risiko ketika terjadi kerusakan properti yang disewakannya. n

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: