Selain memberikan hiburan, televisi komunitas bisa hadir sebagai media pendidikan dan pemberdayaan masyarakat. Jika selama ini masyarakat hanya bisa menjadi penonton pada tayangan televisi komersial, melalui sebuah televisi komunitas, yakni Grabag TV, mereka bisa berperan sebagai pembawa acara, pemain atau aktor bahkan menjadi seorang sutradara.Munculnya televisi komunitas bisa menjadi tonggak sejarah baru dalam dunia penyiaran di Indonesia. Di tengah gemerlapnya siaran televisi swasta yang menyuguhkan berbagai program hiburan, televisi komunitas muncul dengan konsep penyiaran yang berbeda dengan fokus siaran di lingkungannya saja. Salah satu televisi komunitas yang hadir menyemarakkan dunia broadcasting di Indonesia adalah Grabag TV. Bahkan boleh oleh dibilang, Grabag TV adalah salah satu pioner munculnya televisi komunitas di Indonesia. Nama Grabag TV sendiri diambil dari sebuah nama daerah yang menjadi kota kecamatan di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, yakni Grabag.Hartanto, atau yang lebih akrab dipanggil dengan sebutan Pak Tanto adalah pencetus lahirnya Grabag TV. Sejak tahun 2004, Tanto mulai merintis lahirnya Grabag TV, setelah ia memutuskan untuk pindah dari Jakarta.Berawal dari adanya blank spot di daerah Grabag, tempat tinggalnya, dan hanya sedikit siaran teve yang dapat ditangkap, muncullah idenya membuat televisi komunitas. "Waktu itu, hanya siaran-siaran dari TVRI dan RCTI yang bisa ditangkap. Itu pun harus kami relai dari kecamatan," ujar Tanto. Lantas, Tanto memanfaatkan pemancar relai tersebut untuk membangun sebuah televisi berbasis komunitas.Bagi Tanto, usaha mengembangkan televisi komunitas ini bukanlah hal yang sulit. Maklum, ia mempunyai latar belakang sebagai dosen di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan mengajar untuk mata kuliah tata suara film, teknologi film dan TV, serta literasi media. Tak heran, ia sangat memahami seluk-beluk dunia penyiaran televisi. Namun, karena keterbatasan dana, Tanto hanya menggunakan peralatan untuk siaran miliknya. "Saat pertama kali, kami hanya memiliki satu buah kamera handycam dan satu unit komputer untuk proses pengeditan," ujarnya. Sementara itu, untuk mengisi posisi kru penyiaran, ia mengandalkan warga sekitar Grabag, mulai dari guru, supir truk, pelajar dan mahasiswa, "Prinsipnya, siapa yang mau terlibat, saya persilakan," tambah Tanto. Karena teve komunitas ini merupakan kegiatan swadaya masyarakat setempat, anggota kru pun ikut merogoh kantong mereka untuk biaya transportasi. Menurut Tanto, keberadaan televisi komunitas seperti di Grabag, Magelang, ini bisa menjadi sebuah terobosan pemanfaatan media di daerah-daerah di Indonesia. Kehadiran televisi komunitas menjadi alternatif yang perlu mendapat dukungan dan apresiasi. "Prinsipnya, materi siaran merupakan sesuatu yang tidak diberikan oleh stasiun televisi komersial, seperti info lokal di daerah. Selain itu, adanya teve komunitas juga berguna untuk menutupi sisi negatif atau penyelamat bagi tayangan televisi yang ada," ungkap Tanto.Tanto yang mengenyam pendidikan S-1 di IKJ dan S-2 di ISI Surakarta, serta pernah mengambil sekolah film di Australian Film Television and Radio School Sydney ini, ia membagi konten siarannya menjadi tiga jenis yakni, pertanian, pendidikan dan kesenian. Program siaran pendidikan berisi tutorial, bagaimana mengakses media, sehingga masyarakat paham terhadap fungsi media. "Seperti bagaimana menyikapi internet, bagaimana menelaah sisi positif atau negatif dari penggunaan handphone," tutur Tanto. Selanjutnya, siaran pertanian berisi penjelasan soal pertanian. Seperti bagaimana pembudidayaan cabai yang baik dan tanaman lainnya. Adapun siaran kesenian berisi kegiatan seni dari kearifan lokal. Seperti lomba tari, pementasan musik tradisional dan lainnya. Berbagai siaran ini tentu saja disesuaikan dengan unsur kedekatan dari warga sekitar. Mengingat sebagian besar dari penduduk Grabag bermata pencaharian sebagai petani, tentu saja akan lebih bermanfaat jika tayangan ini akan menghasilkan perubahan yang positif bagi perkembangan pertanian di wilayah Grabag.Waktu siaran Grabag TV pun masih terbatas. Grabag TV memang belum siaran tiap hari. Mereka hanya mengudara selama kurang lebih tiga jam setiap hari Senin, Rabu, dan Jumat. Walaupun belum ada penelitian secara kuantitatif, menurut Tanto, dari acara-acara yang ditampilkan di Grabag TV bermanfaat bagi masyarakat. Terutama dalam hal pertanian. Ia menuturkan, tak sedikit warga yang datang untuk mengungkapkan manfaat dan merasa terbantu dari siaran pertanian dari Grabag TV. Karena itu, Tanto pun menyematkan moto Grabag TV yakni "Dari warga, oleh warga, untuk warga masyarakat Grabag".Namun, pendanaan menjadi masalah utama dalam operasional televisi komunitas ini. Pasalnya, televisi komunitas tidak diperbolehkan untuk mendapatkan sumber dana dari iklan. Alhasil, sampai saat ini sumber pendanaan utama hanya dari kantong pribadi Hartanto, warga desa Grabak, serta dari donatur dari Jakarta. Tanto juga mengungkapkan, biaya operasional dan perawatan per bulan televisi komunitas ini berkisar Rp 800.000 sampai Rp 1,5 juta. Kendala lain yang dihadapi adalah dari sisi frekuensi. Untuk saat ini, Grabag TV memakai saluran VHF. Menurut rencana, saluran VHF ini hanya akan menjadi saluran khusus untuk radio digital.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Hartanto meningkatkan kualitas masyarakat Grabag dengan Grabag TV
Selain memberikan hiburan, televisi komunitas bisa hadir sebagai media pendidikan dan pemberdayaan masyarakat. Jika selama ini masyarakat hanya bisa menjadi penonton pada tayangan televisi komersial, melalui sebuah televisi komunitas, yakni Grabag TV, mereka bisa berperan sebagai pembawa acara, pemain atau aktor bahkan menjadi seorang sutradara.Munculnya televisi komunitas bisa menjadi tonggak sejarah baru dalam dunia penyiaran di Indonesia. Di tengah gemerlapnya siaran televisi swasta yang menyuguhkan berbagai program hiburan, televisi komunitas muncul dengan konsep penyiaran yang berbeda dengan fokus siaran di lingkungannya saja. Salah satu televisi komunitas yang hadir menyemarakkan dunia broadcasting di Indonesia adalah Grabag TV. Bahkan boleh oleh dibilang, Grabag TV adalah salah satu pioner munculnya televisi komunitas di Indonesia. Nama Grabag TV sendiri diambil dari sebuah nama daerah yang menjadi kota kecamatan di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, yakni Grabag.Hartanto, atau yang lebih akrab dipanggil dengan sebutan Pak Tanto adalah pencetus lahirnya Grabag TV. Sejak tahun 2004, Tanto mulai merintis lahirnya Grabag TV, setelah ia memutuskan untuk pindah dari Jakarta.Berawal dari adanya blank spot di daerah Grabag, tempat tinggalnya, dan hanya sedikit siaran teve yang dapat ditangkap, muncullah idenya membuat televisi komunitas. "Waktu itu, hanya siaran-siaran dari TVRI dan RCTI yang bisa ditangkap. Itu pun harus kami relai dari kecamatan," ujar Tanto. Lantas, Tanto memanfaatkan pemancar relai tersebut untuk membangun sebuah televisi berbasis komunitas.Bagi Tanto, usaha mengembangkan televisi komunitas ini bukanlah hal yang sulit. Maklum, ia mempunyai latar belakang sebagai dosen di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan mengajar untuk mata kuliah tata suara film, teknologi film dan TV, serta literasi media. Tak heran, ia sangat memahami seluk-beluk dunia penyiaran televisi. Namun, karena keterbatasan dana, Tanto hanya menggunakan peralatan untuk siaran miliknya. "Saat pertama kali, kami hanya memiliki satu buah kamera handycam dan satu unit komputer untuk proses pengeditan," ujarnya. Sementara itu, untuk mengisi posisi kru penyiaran, ia mengandalkan warga sekitar Grabag, mulai dari guru, supir truk, pelajar dan mahasiswa, "Prinsipnya, siapa yang mau terlibat, saya persilakan," tambah Tanto. Karena teve komunitas ini merupakan kegiatan swadaya masyarakat setempat, anggota kru pun ikut merogoh kantong mereka untuk biaya transportasi. Menurut Tanto, keberadaan televisi komunitas seperti di Grabag, Magelang, ini bisa menjadi sebuah terobosan pemanfaatan media di daerah-daerah di Indonesia. Kehadiran televisi komunitas menjadi alternatif yang perlu mendapat dukungan dan apresiasi. "Prinsipnya, materi siaran merupakan sesuatu yang tidak diberikan oleh stasiun televisi komersial, seperti info lokal di daerah. Selain itu, adanya teve komunitas juga berguna untuk menutupi sisi negatif atau penyelamat bagi tayangan televisi yang ada," ungkap Tanto.Tanto yang mengenyam pendidikan S-1 di IKJ dan S-2 di ISI Surakarta, serta pernah mengambil sekolah film di Australian Film Television and Radio School Sydney ini, ia membagi konten siarannya menjadi tiga jenis yakni, pertanian, pendidikan dan kesenian. Program siaran pendidikan berisi tutorial, bagaimana mengakses media, sehingga masyarakat paham terhadap fungsi media. "Seperti bagaimana menyikapi internet, bagaimana menelaah sisi positif atau negatif dari penggunaan handphone," tutur Tanto. Selanjutnya, siaran pertanian berisi penjelasan soal pertanian. Seperti bagaimana pembudidayaan cabai yang baik dan tanaman lainnya. Adapun siaran kesenian berisi kegiatan seni dari kearifan lokal. Seperti lomba tari, pementasan musik tradisional dan lainnya. Berbagai siaran ini tentu saja disesuaikan dengan unsur kedekatan dari warga sekitar. Mengingat sebagian besar dari penduduk Grabag bermata pencaharian sebagai petani, tentu saja akan lebih bermanfaat jika tayangan ini akan menghasilkan perubahan yang positif bagi perkembangan pertanian di wilayah Grabag.Waktu siaran Grabag TV pun masih terbatas. Grabag TV memang belum siaran tiap hari. Mereka hanya mengudara selama kurang lebih tiga jam setiap hari Senin, Rabu, dan Jumat. Walaupun belum ada penelitian secara kuantitatif, menurut Tanto, dari acara-acara yang ditampilkan di Grabag TV bermanfaat bagi masyarakat. Terutama dalam hal pertanian. Ia menuturkan, tak sedikit warga yang datang untuk mengungkapkan manfaat dan merasa terbantu dari siaran pertanian dari Grabag TV. Karena itu, Tanto pun menyematkan moto Grabag TV yakni "Dari warga, oleh warga, untuk warga masyarakat Grabag".Namun, pendanaan menjadi masalah utama dalam operasional televisi komunitas ini. Pasalnya, televisi komunitas tidak diperbolehkan untuk mendapatkan sumber dana dari iklan. Alhasil, sampai saat ini sumber pendanaan utama hanya dari kantong pribadi Hartanto, warga desa Grabak, serta dari donatur dari Jakarta. Tanto juga mengungkapkan, biaya operasional dan perawatan per bulan televisi komunitas ini berkisar Rp 800.000 sampai Rp 1,5 juta. Kendala lain yang dihadapi adalah dari sisi frekuensi. Untuk saat ini, Grabag TV memakai saluran VHF. Menurut rencana, saluran VHF ini hanya akan menjadi saluran khusus untuk radio digital.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News