BANDUNG. Harum wangi kopi menyeruak di tengah hiruk pikuk Jalan Banceuy nomor 51, Bandung. Pemandangan lumrah setiap hari terjadi, pengunjung harus antre demi mendapatkan sebungkus kopi berlabel Koffie Fabriek. Padahal, gerai itu jauh dari kesan perlente. Hanya berbentuk bangunan tua dengan cat mengelupas di sana-sini. Kopi-kopi itu dijajakan dalam bentuk biji dan bubuk. Mereka tertata rapi di dalam wadah kaca, siap untuk ditimbang. Dua orang petugas dengan sigap menimbang kopi dan membungkusnya dalam balutan kertas putih berplastik. Tak peduli, keringat telah membasahi sekujur tubuh.
Meski pembeli selalu datang membludak, sang pemilik pabrik kopi, Widya Pratama sengaja membatasi jumlah pembelian. Setiap pembeli bisa membawa pulang maksimal 5 kilogram saja. "Saya sengaja membatasi penjualan demi keseimbangan bisnis," tutur Widya. Maklum, kopi yang Widya jual perlu mengendap paling tidak selama lima tahun untuk jenis robusta. Jenis arabika harus mengendap delapan tahun lamanya. Gunanya, agar kadar asam bisa hilang dan tidak membuat perut kembung. Kalau Anda sedang berlibur ke Bandung, Anda bisa mampir ke toko kopi ini sekalian melihat proses pembuatan kopi. Di sini, Anda tidak bisa duduk sambil menyeruput kopi, seperti di gerai kopi asal Uwak Sam sambil selfie atau ngobrol, apalagi dapat akses internet gratis. Tapi, Anda akan belajar cara memproduksi biji kopi dan berkenalan dengan warisan yang tidak ternilai harganya. Warisan itu adalah mesin panggang manual yang biasa Widya gunakan untuk memanggang biji kopi. Kalau Anda datang saat proses panggang sedang berlangsung, Anda bisa belajar bagaimana mesin panggang manual keluaran tahun 1930 ini bekerja. Anda juga bisa bertanya pada Widya dan anaknya Monika Tanara, bagaimana kadar dan kualitas biji yang bisa diangkat dari tungku tersebut. Proses pemanggangan perlu waktu minimal dua jam. Sebab, mesin ini masih menggunakan kayu sebagai bahan bakar utamanya. Di sini, Anda akan menyesap aroma kopi sekaligus aroma tradisional yang timbul dari kesan proses pemanggangan kopi. Tidak jauh dari alat pemanggang tradisional itu, ada ruangan dengan berisi puluhan ton endapan biji kopi. Beberapa biji kopi pun ada yang tercecer keluar dari karung. Ada kesan berantakan, tapi kesan tradisional lebih melekat kuat. Begitu juga dengan pajangan sepeda onthel yang menempel di dinding bisa jadi pemandangan menarik dan cocok jadi spot berfoto. Konon, sepeda itulah yang Widya gunakan untuk menjajakan kopinya sebelum seterkenal saat ini. Sepeda-sepeda itu pula yang mengantar alumni Universitas Padjadjaran ini menemui petani kopi di daerah sekitar Bandung agar mau memasok ke pabriknya. Di era serba cepat dan instan, toko kopi ini tetap mempertahankan kualitas produk lewat proses produksi tradisional. Berbeda dengan kopi yang bisa kita temui di gerai-gerai minimarket. Kopi bikinan pabrik modern itu umumnya dipanggang hanya 5 menit dan menggunakan gas, bukan kayu. "Kesan vintage itu yang kami ingin tawarkan," kata Monika Tanara, anak sulung Widya yang membantu proses produksi dan pemasaran Koffie Fabriek. Padahal, tidak sedikit investor yang tertarik gelontorkan uang untuk kembangkan bisnis Koffie Fabriek ini. Tapi, Widya dan Monika bersikukuh. Bisnis mereka lebih baik tidak mengikuti arus utama. Seperti membuka coffee shop yang menyediakan aneka seduhan kopi dan kudapan. Justru dengan konsep tradisional dan kuno ini, Koffie Fabriek jadi semakin melegenda dan semakin dicari.
Belakangan, Dinas Pariwisata Bandung mulai melirik Koffie Fabriek dan menjadikannya sebagai destinasi wisata. Saat saya berkunjung ke sana, ada lima orang wisatawan mancanegara tengah asyik berpose di depan mesin panggang (roaster) klasik itu. Selain berfoto, mereka juga berkeliling melihat proses produksi biji kopi. Mulai dari mengeluarkan karung dari gudang, penjemuran biji hingga proses memanggang dan menggiling biji kopi sampai jadi bubuk. Nah, kalau Anda tertarik membawa pulang kopi ini, Anda tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam. Harga sebungkus ukuran 250 gram berkisar Rp 20.000 - Rp 25.000 tergantung jenis dan asal kopi. Kopi yang dijual berasal dari sejumlah daerah di Indonesia, seperti Toraja, Flores, Bangka, Aceh, dan pulau Jawa. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto