JAKARTA. Dinamika internal di dalam Partai Golkar yang sampai saat ini belum menemukan formula pasangan capres-cawapres untuk pilpres 9 Juli mendatang mendorong banyak pihak mengusulkan agar Ketua umum Partai Golkar Aburizal Bakrie (ARB) menempatkan posisi sebagai king maker atau figur yang mengatur menentukan siapa yang akan dimajukan sebagai cawapres. Menurut pengamat politik dari Charta Politika Yunarto Wijaya, apabila ARB menjadi tidak melanjutkan pencalonan presiden dan menjadi king maker, mestinya mengarahkan dukungan pada Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tandjung sebagai Cawapres Golkar. “Akbar punya rekam jejak yang bagus di partai, pengalaman, dan memiliki banyak basis dukungan, dibandingkan dengan elite Golkar lainnya,” kata Yunarto dalam diskusi bertema “Capres-Cawapres Golkar” yang diselenggarakan Freedom Foundation, Senin sore (12/5).
Pendapat serupa dikemukakan pengamat politik LIPI Siti Zuhro, mengatakan, ARB tidak boleh mutlak-mutlakan dalam situasi politik saat ini. Dia harus memiliki banyak opsi agar partai Golkar memiliki bargaining kuat dalam pembicaraan koalisi.Karena itu rapat pimpinan nasional atau Rapimnas mestinya segera digelar dan diputuskan beberapa opsi. Dalam kaitan mengajukan cawapres, apabila ARB menjadi king maker, Siti mengungkapkan, dua mantan Ketua Umum Golkar yaitu Akbar dan JK memang bersaing ketat untuk dijadikan cawapres, tetapi dari sisi usia dan pengalaman, basis dukungan, rekam jejak dalam politik, Akbar lebih unggul. “Capres yang dinilai akan saling berhadapan, Jokowi dan Prabowo, harus melihat calon pendampingnya, bukan sekadar elektabilitas saat pemilihan, tetapi bagaimana liam tahun pemerintahan berjalan. Akbar punya kemammpuan untuk mendampingi dan memberi nilai tambah baik saat pemilihan maupun keika pemerintahan berjalan,” kata Siti. Anggota Dewan Penasehat Golkar Ibrahim Ambong sebagai salah satu pembicara diskusi mengatakan, Golkar sejak masa reformasi memang ada anomali ketiak pemilihan presiden. Mengacu pada pilpres 2004, JK maju bersama SBY, padahal capres Golkar ketiak itu adalah Wiranto. Begitu juga saat Munas di Bali 2005, lapiran pertanggungjawaban Ketua umum Glkar Akbar Tandjung diteriam dengan sambutan luar biasa, namun saat pemilihan ketua umum, JK yang dipilih. “Ini ada erosi di kalangan elite dan kader Golkar. Jika erosi teris dibiarkan, bukan tidak mungkin Golkar akan kehilangan banyak suara dan kursi dalam pemilu-pemilu berikutnya,” kata Ambong Saat ditanya mengenai Akbar, mantan pimpinan Komisi I DPR ini mengatakan, kepemimpinan Akbar sudah terbukti dan teruji sampai saat ini. “Jadi, bukan sekadar elektabilitas, namun kepentingan jangka panjang lima tahun pemerintahan harus menjadi perhatian capres dalam memilih cawapres,” katanya. Siti Zuhro, mengatakan, banyak partai politik papan tengah yang tak ingin berkoalisi dengan Partai Golkar untuk menghadapi pemilu presiden mendatang. Hal itu, menurut dia, tidak terlepas dari rendahnya elektabilitas bakal calon presiden yang diusung partai itu, yakni Aburizal Bakrie alias Ical. "Partai-partai menengah justru tidak ingin dilamar Golkar. Padahal, partai dengan perolehan suara kecil sebelumnya selalu ingin mendekat ke partai besar," kata Siti dalam diskusi Menakar Capres-Cawapres Golkar di Jakarta, Senin (12/5/2014).
Siti membandingkan perolehan suara Partai Gerindra yang lebih rendah daripada Golkar pada pemilu legislatif lalu, tetapi elektabiltas bakal calon presiden Gerindra, Prabowo Subianto, jauh lebih tinggi dibanding Ical. Karena itu, ada parpol papan tengah yang ingin berkoalisi dengan Gerindra, seperti PPP. Faktor lain, kata Siti, Golkar terlalu terburu-buru mencalonkan Ical sebagai bakal capres. Pencapresan Ical sudah diputuskan dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Golkar tahun 2012. Ketika itu, Golkar menjadi parpol pertama yang mendeklarasikan bakal capresnya. "Strategi dan taktik yang diambil Golkar ini adalah fenomena lama yang punya empati pas-pasan sehingga kurang membaca kebutuhan makro masyarakat," ujarnya. (Johnson Simanjuntak) Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Hendra Gunawan