JAKARTA. Mantan Menteri Luar Negeri Hasan Wirajuda mengaku diperiksa mengenai penyelenggaraan sejumlah pertemuan atau konferensi internasional pada tahun 2004 sampai dengan 2005. Hasan menjelaskan bahwa selama kurun waktu tersebut, Indonesia memang banyak menyelenggarakan konferensi internasional antara 15 kali sampai dengan 17 kali. Dikatakan Hasan, dalam kurun waktu itu banyak diselenggarakan konferensi internasional dengan tujuan memulihkan kepercayaan bangsa asing kepada Indonesia pasca terjadi krisis keuangan pada tahun 1997 dan 1998, serta krisis multidimensional politik sosial dan keamanan pasca reformasi. Menurut Hasan, dirinya memang bertanggungjawab terhadap terselenggaranya konferensi internasional, yang belakangan diindikasikan terjadi tindak pidana korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. "Saya memang ditanya pemahaman saya tentang Undang-Undang Keuangan Negara tahun 2003 dan UU Perbendaharaan Negara 2004, di mana ada pembinaan tanggung jawab antara menteri sebagai pengguna anggaran, Sekretaris Jenderal sebagai kuasa pengguna anggaran dan tanggungjawab satuan-satuan kerja atau panitia konferensi. Sebagai Menlu ketika itu saya yang memutuskan diadakannya konferensi-konferensi ini," kata Hasan seusai diperiksa di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (18/12). Karena itu, Hasan enggan menjawab pertanyaan apakah penyelenggaraan konferensi internasional itu merupakan tanggung jawab penuh Presiden. Hasan hanya menyebut penyelenggaraan ini merupakan kebijakan Presiden, lantaran konferensi ini membahas isu-isu yang sangat strategis antar negara-negara Asia Tenggara. "Saya tidak akan berbicara apakah ini tanggungjawab ataupun kebijakan Presiden. Tapi ada UU yang mengatur keuangan negara secara rinci di mana letak tanggungjawabnya," lanjut Hasan. Lebih lanjut Hasan menyebutkan bahwa dari konferensi yang sering diadakan ini, Indonesia berhasil mengumpulkan bantuan sebesar US$ 55 juta yang digunakan untuk pemberdayaan Kepolisian Republik Indonesia dan juga untuk mendirikan sekolah anti terorisme. Hasan juga enggan menuturkan pemeriksaan dirinya terkait tersangka kasus mantan Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri Sudjadnan Parnohadiningrat. Namun Hasan menyebutkan bahwa melalui pemeriksaan internal setelah dua tahun konferensi berlalu, Kementerian Luar Negeri, baru diketahui adanya pelanggaran. "Sampai dengan pemeriksaan internal dua tahun kemudian, saya baru mengetahui ada pelanggaran. Sebagai proses hukum, harus dibuktikan, perhitungan anggaran harus diaudit. Silakan saja diproses hukum," tandas Hasan. Hasan menjelaskan bahwa hasil penyelenggaraan konferensi internasional itu memang memiliki keuntungan. Pertama adalah keuntungan yang dapat dihitung dalam mata uang dolar dan sen yang diperoleh dari kegiatan bantuan dan kerjasama internasional. Selain itu, adalah kemanfaatan keuntungan dari hal yang tidak bisa diukur dengan dollar dan sen, yang sifatnya pemulihan harkat dan martabat bangsa Indonesia. Dalam hal ini, lanjut Hasan, kepemimpinan Indonesia kembali dihargai oleh negara lain. Contohnya adalah pertemuan Tsunami Summit, di mana Indonesia mendapatkan bantuan sebesar US$ 4,3 miliar. Namun menurut Hasan, dalam proses lanjutannya sedikitnya Indonesia menerima bantuan internasional untuk tanggap darurat, pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi paling sedikit US$ 7,5 miliar dollar. "Ini berkat kepercayaan dunia karena Indonesia mengorganisasikan kerangka penanganan tsunami di Aceh dengan baik. Yang hadir dalam konferensi berjanji membantu. Ada yang membantu setengah miliar dollar, sekian ratus juta dollar. Selain itu, beberapa tahun sebelum tsunami terjadi gempa bumi di Iran dan masyarakat internasional menjanjikan 17% yang akhirnya dikirim ke Iran. Jadi konferensi internasional itu menurut saya sangat menguntungkan," ujar Hasan. Sebelumnya, KPK menetapkan Sudjadnan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penyelenggaraan konferensi internasional. Dia diduga melakukan tindak pidana korupsi dengan menyalahgunakan kewenangannya sebagai pejabat pembuat komitmen sehingga menimbulkan kerugian negara sekitar Rp 18 miliar. Penyalahgunaan wewenang itu terkait dengan sejumlah kegiatan di Deplu, di antaranya seminar yang digelar dalam kurun waktu 2004-2005. Saat dugaan korupsi itu dilakukan, Hassan menjabat sebagai Menlu. Terkait penyidikan kasus ini, sebelumnya KPK sudah memeriksa sejumlah saksi, antara lain, Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri Budi Bowoleksono dan Duta Besar RI di Kanada Dienne Dhardianti Mohario. Adapun tersangka Sudjadnan juga berstatus terpidana dalam kasus korupsi yang lain. Mantan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat ini divonis setelah terbukti terlibat dalam pencairan duit negara secara ilegal. Pada 2003-2004, Sudjadnan menyetujui pengeluaran anggaran untuk renovasi gedung dan rumah dinas di lingkungan Kedutaan Besar RI di Singapura sebelum ada persetujuan dari Menteri Keuangan. Dia juga menerima uang sebesar 200.000 dollar AS dari mantan Duta Besar Indonesia untuk Singapura Mochamad Slamet Hidayat. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Hasan Wirajuda: Memang ada penyelewengan
JAKARTA. Mantan Menteri Luar Negeri Hasan Wirajuda mengaku diperiksa mengenai penyelenggaraan sejumlah pertemuan atau konferensi internasional pada tahun 2004 sampai dengan 2005. Hasan menjelaskan bahwa selama kurun waktu tersebut, Indonesia memang banyak menyelenggarakan konferensi internasional antara 15 kali sampai dengan 17 kali. Dikatakan Hasan, dalam kurun waktu itu banyak diselenggarakan konferensi internasional dengan tujuan memulihkan kepercayaan bangsa asing kepada Indonesia pasca terjadi krisis keuangan pada tahun 1997 dan 1998, serta krisis multidimensional politik sosial dan keamanan pasca reformasi. Menurut Hasan, dirinya memang bertanggungjawab terhadap terselenggaranya konferensi internasional, yang belakangan diindikasikan terjadi tindak pidana korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. "Saya memang ditanya pemahaman saya tentang Undang-Undang Keuangan Negara tahun 2003 dan UU Perbendaharaan Negara 2004, di mana ada pembinaan tanggung jawab antara menteri sebagai pengguna anggaran, Sekretaris Jenderal sebagai kuasa pengguna anggaran dan tanggungjawab satuan-satuan kerja atau panitia konferensi. Sebagai Menlu ketika itu saya yang memutuskan diadakannya konferensi-konferensi ini," kata Hasan seusai diperiksa di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (18/12). Karena itu, Hasan enggan menjawab pertanyaan apakah penyelenggaraan konferensi internasional itu merupakan tanggung jawab penuh Presiden. Hasan hanya menyebut penyelenggaraan ini merupakan kebijakan Presiden, lantaran konferensi ini membahas isu-isu yang sangat strategis antar negara-negara Asia Tenggara. "Saya tidak akan berbicara apakah ini tanggungjawab ataupun kebijakan Presiden. Tapi ada UU yang mengatur keuangan negara secara rinci di mana letak tanggungjawabnya," lanjut Hasan. Lebih lanjut Hasan menyebutkan bahwa dari konferensi yang sering diadakan ini, Indonesia berhasil mengumpulkan bantuan sebesar US$ 55 juta yang digunakan untuk pemberdayaan Kepolisian Republik Indonesia dan juga untuk mendirikan sekolah anti terorisme. Hasan juga enggan menuturkan pemeriksaan dirinya terkait tersangka kasus mantan Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri Sudjadnan Parnohadiningrat. Namun Hasan menyebutkan bahwa melalui pemeriksaan internal setelah dua tahun konferensi berlalu, Kementerian Luar Negeri, baru diketahui adanya pelanggaran. "Sampai dengan pemeriksaan internal dua tahun kemudian, saya baru mengetahui ada pelanggaran. Sebagai proses hukum, harus dibuktikan, perhitungan anggaran harus diaudit. Silakan saja diproses hukum," tandas Hasan. Hasan menjelaskan bahwa hasil penyelenggaraan konferensi internasional itu memang memiliki keuntungan. Pertama adalah keuntungan yang dapat dihitung dalam mata uang dolar dan sen yang diperoleh dari kegiatan bantuan dan kerjasama internasional. Selain itu, adalah kemanfaatan keuntungan dari hal yang tidak bisa diukur dengan dollar dan sen, yang sifatnya pemulihan harkat dan martabat bangsa Indonesia. Dalam hal ini, lanjut Hasan, kepemimpinan Indonesia kembali dihargai oleh negara lain. Contohnya adalah pertemuan Tsunami Summit, di mana Indonesia mendapatkan bantuan sebesar US$ 4,3 miliar. Namun menurut Hasan, dalam proses lanjutannya sedikitnya Indonesia menerima bantuan internasional untuk tanggap darurat, pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi paling sedikit US$ 7,5 miliar dollar. "Ini berkat kepercayaan dunia karena Indonesia mengorganisasikan kerangka penanganan tsunami di Aceh dengan baik. Yang hadir dalam konferensi berjanji membantu. Ada yang membantu setengah miliar dollar, sekian ratus juta dollar. Selain itu, beberapa tahun sebelum tsunami terjadi gempa bumi di Iran dan masyarakat internasional menjanjikan 17% yang akhirnya dikirim ke Iran. Jadi konferensi internasional itu menurut saya sangat menguntungkan," ujar Hasan. Sebelumnya, KPK menetapkan Sudjadnan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penyelenggaraan konferensi internasional. Dia diduga melakukan tindak pidana korupsi dengan menyalahgunakan kewenangannya sebagai pejabat pembuat komitmen sehingga menimbulkan kerugian negara sekitar Rp 18 miliar. Penyalahgunaan wewenang itu terkait dengan sejumlah kegiatan di Deplu, di antaranya seminar yang digelar dalam kurun waktu 2004-2005. Saat dugaan korupsi itu dilakukan, Hassan menjabat sebagai Menlu. Terkait penyidikan kasus ini, sebelumnya KPK sudah memeriksa sejumlah saksi, antara lain, Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri Budi Bowoleksono dan Duta Besar RI di Kanada Dienne Dhardianti Mohario. Adapun tersangka Sudjadnan juga berstatus terpidana dalam kasus korupsi yang lain. Mantan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat ini divonis setelah terbukti terlibat dalam pencairan duit negara secara ilegal. Pada 2003-2004, Sudjadnan menyetujui pengeluaran anggaran untuk renovasi gedung dan rumah dinas di lingkungan Kedutaan Besar RI di Singapura sebelum ada persetujuan dari Menteri Keuangan. Dia juga menerima uang sebesar 200.000 dollar AS dari mantan Duta Besar Indonesia untuk Singapura Mochamad Slamet Hidayat. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News