Hasil survei KPK: Publik lumrahkan politik uang



JAKARTA. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan survei terkait kelaziman politik uang (money politic) di Indonesia, pada tahun 2013 lalu. Dari hasil survei yang dilakukan di 11 kota di Indonesia tersebut, publik mengganggap politik uang sebagai suatu hal yang lumrah. "Sebesar 71,72% publik menganggap politik uang itu lazim. Dari persepsi publik itu menganggap politik uang itu lumrah," kata Juru Bicara KPK Johan Budi dalam diskusi bertema 'Pemilu Berintegritas Momentum Menuju Pemimpin yang Pro Pemberantasan Korupsi' di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (19/3). Diskusi tersebut juga dihadiri para pimpinana KPK, seperti Ketua KPK Abraham Samad, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, dan tokoh bangsa Ahmad Syafii Maarif. Terhait hal ini, Gamawan angkat bicara. Dirinya pun menemukan fenomena politik uang di daerah-daerah. Menurutnya, ada masalah yang terjadi di tengah-tengah masyarakat saat ini. "Saya menemukan dua hal seperti itu di daerah. Pertama, ada tulisan besar, poster, siap menerima serangan fajar. Kedua, terima uangnya, jangan pilih orangnya, sudah mulai orang meledek bangsa dengan cara-cara seperti ini," katanya. Lebih lanjut, menurut Gamawan, saat ini pemerintah pusat juga sulit mengawal para kepala daerah karena pengaruh partai politik yang mengusung kepala daerah tersebut lebih kuat. Bahkan lanjut Gamwan, dirinya pernah dicaci partai lantaran menegur kepala daerah yang diduga terlibat politik uang. "Jadi, partai masih enggak bisa melepaskan diri dari jabatan itu padahal sudah milik publik, padahal saya menegur sebagai orang punya kompetensi menurut undang-undang," ungkap Gamawan. Oleh karena itu, dirinya pun menawarkan solusi agar pemerintah mengambil alih pembiayaan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu). Kemudian Pemerintah mengawal pelaksanaan regulasinya di lapangan.

"Solusinya, saya tawarkan, keungan negara makin kuat, politik mahal, negara mungkin bisa ambil peran di sini. Kenapa sih tidak keluarkan saja Rp 15 triliun? itu kan berapa persen, regulasi kita kawal bersama," imbuh dia. Sementara itu, Adnan menyebut hasil survei lembaganya merupakan fenomena yang sangat menarik. Oleh karena itu menurut Adnan, diperlukan lembaga non pemerintah untuk memberi pendidikan kepada publik mengenai bahayanya politik uang ini. "Diperlukan NGO (lembaga non Pemerintah) yang deket publik. Sayangnya media enggak punya peran positif untuk menyarankan, media lebih suka cari sensasi," pungkas Adnan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Dikky Setiawan