JAKARTA. Kalangan pengusaha batubara tampaknya juga ingin mencicipi pemberian insentif yang ditawarkan pemerintah demi mendatangkan dolar sekaligus memperkuat nilai tukar rupiah. Maklum, lebih dari 80% produksi batubara nasional dijual ke pasar ekspor. Supriatna Sahala, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) mengatakan, salah satu yang memberatkan pengusaha dalam mengekspor batubara yaitu kewajiban pembayaran royalti di awal atau sebelum menjual produknya ke luar. Sehingga, perusahaan mesti menyediakan modal tambahan agar bisa mengapalkan batubara. Oleh karena itu, pengusaha mengharapkan insentif khusus berupa pembayaran royalti setelah kegiatan ekspor dilakukan. "Ini salah satu hal yang memberatkan, kami pun sudah mengusulkan agar kebijakan dikaji kembali ke pemerintah," kata dia ketika dihubungi KONTAN, Selasa (17/3). Asal tahu saja, keharusan pembayaran royalti di muka mulai diterapkan pemerintah mulai Oktober 2014 silam seiring pemberlakuan eksportir terdaftar (ET) batubara. Hal tersebut dinilai memberatkan pengusaha karena dana hasil penjualan belum diterima dari pembeli. Supriatna menilai, kewajiban tersebut tentunya menyulitkan produsen tambang mengingat harga komoditas batubara masih melemah belakangan ini. "Pajak ekspor juga jangan diterapkan dulu," kata dia. Selain itu, pengusaha juga mengharapkan kewajiban penggunaan letter of credit (L/C) untuk kegiatan ekspor, tidak diberlakukan untuk kontrak jangka panjang yang sudah dibuat sebelumnya. "Kewajiban L/C untuk pencatatan devisa ekspor sebaiknya diberlakukan hanya untuk perjanjian penjualan yang baru dilakukan sekarang," jelas dia. Sementara, Waskito Tanuwijoyo, General Manager Exploration PT Bhakti Coal Resources mengatakan, insentif berupa tax holiday kurang pas lantaran di industri ini umumnya bukan investor baru. "Kami berharap hambatan ekspor dihilangkan, rencana kenaikan royalti dan iuran tetap ditunda agar ada ruang bagi pengusaha menggenjot produksi dan ekspor," kata dia. Ekawahyu Kasih, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pemasok Energi dan Batubara Indonesia (Aspebindo) mengatakan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) semestinya mempercepat penyelesaian rekonsiliasi clean and clear (CnC) izin usaha pertambangan (IUP) serta pemberian rekomendasi ET Batubara. Dengan begitu, jumlah eksportir batubara akan dapat meningkat dan berdampak pada peningkatan volume ekspor. Tapi, pemerintah harus hati-hati dalam menggenjot volume ekspor batubara. "Ekspor yang terlalu agresif justru akan memperburuk harga jual batubara, pemerintah harus hati-hati dalam membuat kebijakan," kata Ekawahyu. Asal tahu saja, hingga Februari 2015 lalu ekspor batubara mencapai 53 juta ton, sedangkan volume ekspor sepanjang 2014 mencapai 402 juta ton. Adapun devisa ekspor dari batubara lumayan tinggi lebih dari US$ 30 miliar per tahun. Sukhyar, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM mengatakan, persyaratan untuk mendapatkan insentif berupa tax holiday di antaranya lebih dari 30% produk diekspor, serta peningkatan modal belanja dari hasil keuntungan di tahun lalu. "Keputusan pemberian insentif untuk perusahaan tambang, akan ditetapkan Kementerian Keuangan, kami belum sampai ke sana," ujar dia. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Hasilkan devisa, eksportir batubara minta insentif
JAKARTA. Kalangan pengusaha batubara tampaknya juga ingin mencicipi pemberian insentif yang ditawarkan pemerintah demi mendatangkan dolar sekaligus memperkuat nilai tukar rupiah. Maklum, lebih dari 80% produksi batubara nasional dijual ke pasar ekspor. Supriatna Sahala, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) mengatakan, salah satu yang memberatkan pengusaha dalam mengekspor batubara yaitu kewajiban pembayaran royalti di awal atau sebelum menjual produknya ke luar. Sehingga, perusahaan mesti menyediakan modal tambahan agar bisa mengapalkan batubara. Oleh karena itu, pengusaha mengharapkan insentif khusus berupa pembayaran royalti setelah kegiatan ekspor dilakukan. "Ini salah satu hal yang memberatkan, kami pun sudah mengusulkan agar kebijakan dikaji kembali ke pemerintah," kata dia ketika dihubungi KONTAN, Selasa (17/3). Asal tahu saja, keharusan pembayaran royalti di muka mulai diterapkan pemerintah mulai Oktober 2014 silam seiring pemberlakuan eksportir terdaftar (ET) batubara. Hal tersebut dinilai memberatkan pengusaha karena dana hasil penjualan belum diterima dari pembeli. Supriatna menilai, kewajiban tersebut tentunya menyulitkan produsen tambang mengingat harga komoditas batubara masih melemah belakangan ini. "Pajak ekspor juga jangan diterapkan dulu," kata dia. Selain itu, pengusaha juga mengharapkan kewajiban penggunaan letter of credit (L/C) untuk kegiatan ekspor, tidak diberlakukan untuk kontrak jangka panjang yang sudah dibuat sebelumnya. "Kewajiban L/C untuk pencatatan devisa ekspor sebaiknya diberlakukan hanya untuk perjanjian penjualan yang baru dilakukan sekarang," jelas dia. Sementara, Waskito Tanuwijoyo, General Manager Exploration PT Bhakti Coal Resources mengatakan, insentif berupa tax holiday kurang pas lantaran di industri ini umumnya bukan investor baru. "Kami berharap hambatan ekspor dihilangkan, rencana kenaikan royalti dan iuran tetap ditunda agar ada ruang bagi pengusaha menggenjot produksi dan ekspor," kata dia. Ekawahyu Kasih, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pemasok Energi dan Batubara Indonesia (Aspebindo) mengatakan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) semestinya mempercepat penyelesaian rekonsiliasi clean and clear (CnC) izin usaha pertambangan (IUP) serta pemberian rekomendasi ET Batubara. Dengan begitu, jumlah eksportir batubara akan dapat meningkat dan berdampak pada peningkatan volume ekspor. Tapi, pemerintah harus hati-hati dalam menggenjot volume ekspor batubara. "Ekspor yang terlalu agresif justru akan memperburuk harga jual batubara, pemerintah harus hati-hati dalam membuat kebijakan," kata Ekawahyu. Asal tahu saja, hingga Februari 2015 lalu ekspor batubara mencapai 53 juta ton, sedangkan volume ekspor sepanjang 2014 mencapai 402 juta ton. Adapun devisa ekspor dari batubara lumayan tinggi lebih dari US$ 30 miliar per tahun. Sukhyar, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM mengatakan, persyaratan untuk mendapatkan insentif berupa tax holiday di antaranya lebih dari 30% produk diekspor, serta peningkatan modal belanja dari hasil keuntungan di tahun lalu. "Keputusan pemberian insentif untuk perusahaan tambang, akan ditetapkan Kementerian Keuangan, kami belum sampai ke sana," ujar dia. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News