KONTAN.CO.ID - Beberapa waktu lalu di Indonesia ditemukan kasus gagal ginjal akut yang menyerang anak-anak dan bisa menyebabkan kematian. Berita tersebut tentu membuat orangtua khawatir, khususnya jika akan membeli obat pereda panas atau obat batuk dan pilek yang mengandung paracetamol. Bersumber dari situs Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, obat batuk berbentuk sirup yang mengandung
paracetamol disinyalir sebagai penyebab penyebab kematian 70 anak di Gambia, Afrika Barat, akibat gagal ginjal akut.
Kandungan
dietilen glikol maupun
etilen glikol dalam obat tersebut menjadi penyebab munculnya penyakit ini.
Baca Juga: 5 Cara Mudah dan Murah Mengatasi Gangguan Insomnia yang Bisa Anda Coba Dosen Program Studi Profesi Apoteker (PSPA) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UNS Apt. Yeni Farida menganggapi isu tersebut. Menurutnya, sebenarnya kasus semacam ini bukan kali pertama terjadi di dunia. Wabah yang pertama kali adalah Massengill tahun 1937 di Amerika Serikat. Kasus tersebut terjadi akibat penggunaan obat sirup
sulfanilamide yang mengandung pelarut
etilen glikol dengan korban meninggal sebanyak 107 orang dengan sebagian besar adalah anak-anak. Kejadian lain di Haiti pada tahun 1998 dilaporkan dalam studi kasus yang terpublikasi di JAMA bahwa ada 109 kasus gagal ginjal akut pada anak hingga menyebabkan 85 kematian akibat penggunaan sirup yang menggunakan bahan tambahan dietilen glikol.
Kandungan yang menyebabkan gagal ginjal akut
Etilen glikol dan
Dietilen glikol (DEG) adalah alkohol, cairan tidak berwarna, sedikit kental dengan bau yang menyenangkan dan rasa manis yang berfungsi sebagai pelarut. Setelah dikonsumsi, DEG dengan cepat diserap dan didistribusikan di dalam tubuh. Metabolisme utamanya terjadi di hati kemudian dieliminasi secara cepat melalui ginjal baik zat utama maupun metabolitnya yaitu asam 2-
hidroksietoksiasetat (HEAA). “Meskipun saat ini mekanisme toksisitas akibat DEG maupun EG belum diketahui secara jelas, zat ini dicurigai akibat metabolitnya yaitu HEAA,” terang Apt. Yeni, dikutip dari situs UNS. Keracunan DEG dapat menimbulkan berbagai efek klinis. Efek klinis dari keracunan DEG dapat dibagi menjadi tiga tahap diantaranya:
- Tahap pertama: Muncul gejala gastrointestinal yaitu mual muntah yang berkembang menjadi sidosis metabolik.
- Tahap kedua: Sidosis metabolik lebih parah dan bukti gangguan ginjal. Jika tidak ada perawatan suportif yang tepat, hal tersebut dapat menyebabkan kematian.
- Tahap ketiga: Jika pasien stabil, pasien dapat memasuki fase akhir ini dengan berbagai gejala gangguan neurologis (syaraf).
Dosis DEG yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas manusia tidak diketahui jelas, tetapi sebagian besar didasarkan laporan setelah beberapa epidemi keracunan massal, sekitar 1 mL/kg DEG murni.
Interval dari paparan DEG pertama dan paparan DEG terakhir hingga timbulnya gejala menunjukkan bahwa gejala akan muncul dalam waktu singkat setelah paparan. Keracunan dengan DEG paling sering diamati terkait dengan kontaminasi produk farmasi yang dapat dicerna.
Baca Juga: Ini Syarat Daftar Lowongan Magang di Kemenkeu 2022, Mahasiswa Wajib Catat Apoteker perlu cermat berikan obat
Berdasarkan laporan dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), terdapat 206 kasus gangguan ginjal akut misterius atau gangguan ginjal akut progresif atipikal pada anak-anak di 20 provinsi pada Selasa lalu (18/10). Meskipun belum bisa disimpulkan bahwa penyebabnya sama dengan di Gambia, masyarakat perlu berhati-hati dalam memberikan obat sediaan sirup khususnya yang mengandung
paracetamol kepada anak-anak. Paracetamol sebenarnya adalah obat yang aman digunakan pada anak-anak. Namun,
paracetamol susah larut pada air sehingga membutuhkan pelarut lain untuk dibuat dalam sediaan sirup. Karenanya, banyak digunakan pelarut
Polyethylene glycol (PEG) atau
Polyethylene oxide (PEO). Produk sirup yang mengandung pelarut DEG dan EG tidak beredar di Indonesia. Kedua pelarut ini telah dilarang oleh BPOM untuk digunakan dalam sediaan sirup anak maupun dewasa. Namun, dimungkinkan PEG masih mengandung cemaran DEG maupun EG. Menanggapi kasus ini, Kementerian Kesehatan memberikan edaran kepada seluruh kepala dinas kesehatan di Indonesia, direktur rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan, serta organisasi profesi kesehatan untuk turut serta mengambil tindakan. Himbauan ini menjadi tantangan tersendiri bagi profesi Apoteker. Apoteker sebagai profesi kesehatan rujukan masyarakat terkait tentang obat diharapkan dapat memberikan solusi ketika ada pasien anak sakit, sementara itu obat dalam sediaan sirup dihindari. Dalam kasus ini bukan zat aktif obatnya yang bermasalah melainkan zat pelarutnya sehingga modifikasi bentuk sediaan obat dapat menjadi alternatif penanganan kondisi sakit yang membutuhkan obat. “Untuk itu masyarakat diharapkan agar selalu berkonsultasi dengan dokter dan atau apoteker dalam memberikan obat pada anak-anak,” imbuhnya.
Baca Juga: Gejala-Gejala Tipes atau Demam Tifoid pada Anak yang Wajid Diwaspadai Orangtua Gejala gagal ginjal akut pada anak
Untuk mencegah kepanikan dan meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap kasus ini, seluruh tenaga kesehatan dapat berperan serta untuk memberikan edukasi kepada masyarakat. Informasi apa saja yang perlu masyarakat ketahui antara lain mengenali gejala gagal ginjal akut pada anak diantaranya seperti penurunan volume/frekuensi urine atau tidak ada urine serta dengan atau tanpa demam.
Sementara waktu masyarakat diimbau untuk tidak memberikan obat sirup pada anak-anak dan mengutamakan penanganan demam ringan tanpa obat seperti melakukan kompres air hangat,
intake cukup yang cairan. Yang tidak kalah penting juga perlu dilakukan adalah menerapkan pola hidup sehat dan menerapkan protokol kesehatan sebagai upaya untuk mencegah sakit agar tidak perlu mengonsumsi obat. Semoga misteri kasus ini segera terpecahkan dan dapat dilakukan penanganan yang tepat untuk mencegah semakin banyaknya anak-anak yang menjadi korban. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News