Hati-hati pelambatan daya beli dan konsumsi



JAKARTA. Survei penjualan eceran Januari 2017 yang dilakukan Bank Indonesia (BI) menunjukkan pelambatan pertumbuhan. Ini tergambar dari indeks penjualan riil Januari 2017 yang sebesar 6,3%, tumbuh melambat dibandingkan Desember 2016 sebesar 10,5% (year on year).

Pelambatan terjadi baik di kelompok makanan maupun non-makanan. "Pelambatan pada mayoritas kelompok komoditas, terutama suku cadang dan aksesori serta kelompok peralatan informasi dan komunikasi, seperti penjualan produk elektronik (audio/video)," kata Tirta Segara, Direktur Departemen Komunikasi BI, Kamis (9/3).

Menurut Ekonom Maybank Juniman, penjualan eceran memiliki siklus tersendiri. Pada Desember, siklus memiliki banyak hari libur sehingga penjualan eceran meningkat pesat. Sedangkan pada Januari biasanya penjualan eceran kembali normal.


Pelambatan penjualan eceran di awal tahun 2017 ini juga sejalan dengan melambatnya daya beli masyarakat yang disebabkan oleh naiknya inflasi. Inflasi terutama dipicu naiknya harga-harga yang diatur pemerintah (administered price) seperti kenaikan tarif pelayanan STNK, BPKB, bahan bakar minyak (BBM), dan tarif dasar listrik (TDL).

Upah tak naik

Ke depan, Juniman menyatakan, tren penjualan ritel sangat tergantung inflasi karena upah dan gaji yang diterima masyarakat belum naik tinggi akibat ekonomi masih lambat. Pelambatan ekonomi membuat korporasi tidak bisa menaikkan upah.

Ini mengakibatkan upah tak bisa imbang dengan kenaikan harga di tengah masyarakat. "Pada akhirnya membuat penjualan eceran melambat. Daya beli turun. Konsumen mengurangi konsumsi," katanya.

Perkiraan Juniman ini memperkuat hasil survei penjualan eceran BI yang menindikasikan tekanan kenaikan harga tiga bulan mendatang (Mei 2017) di tingkat pedagang eceran. Indikasi itu terlihat dari Indeks Ekspektasi Harga Umum (IEH) tiga bulan mendatang yang meningkat 6,3 poin menjadi 140,4. Peningkatan kenaikan harga juga diperkirakan terjadi pada Agustus 2017. "Sejalan dengan meningkatnya permintaan masyarakat menjelang ramadhan," kata Tirta.

Ekspektasi kenaikan harga ini tidak sesuai hasil survei konsumen BI yang dirilis sebelumnya. Menurut survei BI, konsumen memperkirakan tekanan harga pada 3 bulan-6 bulan mendatang cenderung menurun. Hal itu dipengaruhi oleh ekspektasi terjaganya pasokan bahan pokok oleh pemerintah jelang ramadhan.

Ekonom Senior Kenta Institute Eric Sugandi bilang, hasil survei persepsi yang berhubungan dengan ekspektasi belum tentu sama dengan realisasinya. Apalagi indeks penjualan riil yang disurvei pedagang ritel, sedangkan survei kepercayaan konsumen yang disurvei pembeli. "Kalau beda ekspektasi wajar," katanya.

Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistyaningsih bilang, jika melihat tren di belakang, kecuali saat faktor musiman, penjualan ritel khususnya sandang relatif flat. Namun, Lana khawatir sejumlah kebijakan pemerintah akan menurunkan daya beli masyarakat. Contohnya kenaikan tarif listrik. "Bila sudah naik tiga kali, masyarakat akan membayar listrik yang biasanya Rp 75.000 per bulan jadi Rp 250.000-an. Itu menggerus kemampuan konsumsi yang lain," ucapnya.

Lana berharap, kenaikan tarif listrik tahap III pada Mei 2017 diundur untuk membantu konsumsi masyarakat saat lebaran, ramadhan, dan tahun ajaran baru. "September mungkin sudah mulai berkurang tekanannya," katanya. Jika kemudian penjualan ritel turun, pertumbuhan ekonomi tahun 2017 yang ditargetkan 5,1% akan sulit tercapai. Sebab, konsumsi masyarakat masih jadi penyumbang PDB terbesar, yaitu 58%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia