KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga Batubara Acuan (HBA) kembali melanjutkan tren kenaikan pada awal tahun 2021 ini. Terus menanjak sejak akhir 2020, HBA Februari 2021 dipatok di level US$ 87,79 per ton. Asal tahu saja, HBA ini melesat 15,7% dibandingkan dengan HBA di bulan sebelumnya yang sebesar sebesar US$ 75,84 per ton. Kendati begitu, Ketua Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo menyatakan bahwa kenaikan HBA tersebut belum tentu mencerminkan kondisi pasar dan harga batubara yang sudah stabil.
Singgih membeberkan, HBA kali ini merupakan nilai rata-rata dari empat indeks dari pasar pada periode sebelumnya. Kondisi saat ini, justru pasar dan harga batubara kembali menunjukkan tekanan. Seiring dengan ketatnya kompetisi dengan eksportir batubara global lainnya, khususnya Rusia yang ekspansif ke China dan Afrika Selatan ke India. China dan India merupakan pasar ekspor utama batubara Indonesia.
Baca Juga: Melonjak 15,7%, harga batubara acuan (HBA) berada di US$ 87,79 per ton Di sisi lain, sejumlah tambang di Indonesia juga terkendala lantaran direndam banjir dalam beberapa waktu terakhir "Rusia
coal ke China dan Afrika selatan ke India juga sangat agresif. Hampir semua pasar saat ini justru tertekan, dan ini menandakan bahwa memang saat itu pasar belum sepenuhnya
rebound," terang Singgih kepada Kontan.co.id, Jum'at (5/2). Menurutnya, keseimbangan harga yang menandakan
rebound belum terlihat. Apalagi dengan pola impor China dan India di tengah agresifnya Rusia dan Afrika Selatan. "Belum menemukan titik keseimbangan," sambung Singgih. Menurut Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi, kenaikan HBA pada Februari 2021 tak lepas dari adanya sinyal
supercycle yang diyakini akan terjadi di tahun 2021. Sinyal
supercycle tersebut ada pada berbagai komoditas terutama komoditas pertambangan. Salah satu pemicunya berasal dari suku bunga acuan yang rendah, dolar AS yang lemah hingga pertumbuhan ekonomi serta pembangunan infrastruktur di berbagai negara. "Adanya sentimen
commodity supercycle, antara lain kenaikan harga gas ikut memperkuat harga batubara," kata Agung Pribadi, Kamis (4/2). Selain faktor
supercycle, penyebab utama dari pendorong kenaikan HBA adalah melonjaknya permintaan impor dari Tiongkok. "Suplai batubara domestik (Tiongkok) tidak dapat memenuhi kebutuhan batubara pembangkit listrik," sambung Agung. Asal tahu saja, harga Batubara kembali pulih dalam empat bulan terakhir setelah sepanjang tahun 2020 tertekan akibat pandemi Covid-19. Yakni pada Oktober 2020, sebesar US$ 51 per ton, November 2020 di level US$ 55,71 per ton, Desember 2020 dengan US$ 59,65 per ton dan Januari di posisi US$ 75,84 per ton. "Selama empat bulan terakhir harga batubara terus menuju ke level psikologis," tandas Agung.
Baca Juga: Aksi profit taking bikin harga batubara keok ke bawah US$ 90 per ton lagi Sebagai informasi, perubahan HBA juga disebabkan oleh faktor turunan
supply dan faktor turunan permintaan. Untuk faktor turunan produksi dipengaruhi oleh cuaca, teknis tambang, kebijakan negara
supplier, hingga teknis di
supply chain seperti kereta, tongkang, maupun
loading terminal. Sementara untuk faktor turunan
demand dipengaruhi oleh kebutuhan listrik yang turun berkorelasi dengan kondisi industri, kebijakan impor, dan kompetisi dengan komoditas energi lain, seperti LNG, nuklir, dan hidro. HBA bulan Februari ini akan dipergunakan pada penentuan harga batubara pada titik serah penjualan secara
free on board di atas kapal pengangkut (FOB Vessel).
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari