Sekalipun tak pernah kursus mengolah produk pangan, Henny Widjaja mampu memproduksi dan memasarkan abon cabai olahannya hingga menghasilkan omzet ratusan juta rupiah. Resepnya? Tekun belajar.Abon cabai sudah tidak asing lagi di telinga para penggemar pedas di tanah air. Ya, makanan jenis ini sempat booming dua tahun silam. Salah satu produsen generasi awal yang hingga kini masih eksis memproduksi abon cabai adalah Henny Widjaja. Dengan mengusung merek Ninoy Abon Cabe, Henny sukses di bisnis makanan olahan.Dalam sebulan, Henny mampu menjual 600 kilogram abon. Banderol harga yang ia pasang mulai dari Rp 35.000 untuk kemasan 100 gram (gr), Rp 80.000 untuk kemasan 250 gr, serta Rp 155.000 per 500 gram.Abon buatan Henny yang memiliki tujuh varian rasa ini lebih banyak dijual melalui sistem keagenan. Saat ini Henny memiliki lebih dari 50 agen yang aktif. Agen-agen Ninoy itu tersebar di beberapa wilayah Indonesia, dengan Jakarta sebagai pasar terbesar.Perempuan kelahiran Jakarta, 21 Juli 1974 ini menuturkan, melalui tangan para agen, Ninoy Abon Cabe bisa sampai ke negara-negara Eropa, Korea Selatan, dan Dubai. Tidak sedikit juga buyer besar yang datang langsung ke Henny. “Saya itu tidak pernah belajar mengolah pangan. Dari kecil justru belajar salon,” ujar ibu dari Josua ini. Sejak umur sebelas tahun, Henny sudah mahir memotong rambut. Maklum, sang ibu memang memiliki usaha salon.Setelah lulus SMA, Henny kebagian sampur meneruskan usaha salon. Tak tanggung-tanggung, Henny belajar tata rambut hingga ke Inggris. Usai sekolah, Henny pun berbisnis salon selama empat tahun. “Ternyata, mama pengin saya kuliah. Akhirnya tahun 1996, saya berangkat ke Australia,” kenangnya. Dia kuliah mengambil program diploma jurusan manajemen bisnis.Sebulan di Negeri Kanguru, Henny mencoba melamar menjadi penata rambut di sebuah salon. “Untung saya mengantongi sertifikat kursus rambut dari Inggris. Syarat menjadi hair stylist di Australia adalah memiliki sertifikat,” tutur dia.Setelah lulus kuliah, tahun 2000 Henny pulang ke Indonesia. “Saya tidak bekerja berdasarkan ijazah kuliah. Pulang ke Indonesia, ya, kerja di salon lagi,” ujar Henny sambil tertawa. Henny bekerja di Cay-cay Salon Jakarta. Di tempatnya bekerja, Henny mendapat tugas di luar. Antara lain ke stasiun televisi RCTI untuk merias para presenter. Oleh manajemen salon, Henny lebih sering tugas ke luar salon untuk make up para rekanan.Akhirnya, Henny memilih mengundurkan diri dan bekerja sebagai freelancer di Cay-cay Salon. Sebagai freelance, tentu pendapatan Henny tidak tetap. Henny pun membuka warung makan sederhana di area rumahnya di Semanggi, Jakarta. Dia juga membuka warung rokok, dan usaha laundry kiloan. “Karena saya cuma tinggal bersama anak, ya, beberapa ruangan rumah kami sulap menjadi enam kamar kos,” ujar dia.Kehilangan pembeliHenny menjalankan semua usaha itu sembari tetap menjadi penata rias. Bahkan, dia sempat dikirim ke Spanyol untuk belajar oleh sebuah perusahaan nail art. Henny terikat kontrak sebagai pengajar di perusahaan nail art tersebut selama setahun. Selepas dari situ, dia mendapat tawaran menjadi figuran film layar lebar berjudul Arisan. “Pokoknya menjadi jarang di rumah. Hingga, akhir 2008, saya diberi sambal oleh teman dari Bandung,” kata dia.Sebagai penggemar sambal kelas berat, Henny berusaha meniru sambal dari sang teman. Namun karena basah, sambal itu benyek bila dibawa bepergian, Henny pun bereksperimen untuk mengeringkan cabai-cabai basah lantas membumbuinya hingga menjadi abon yang kering bila dibawa bepergian.Awalnya, Henny hanya membuat 1 kg, yang dibagikan ke teman-temannya. Lantas, ia membuat lebih banyak lagi, 5 kg, dan dijual di warung makannya. “Anak-anak kos pada suka. Saya juga bawa makanan ini ke Bandung, teman saya pun bantu jual,” kenang dia. Produksi pun meningkat menjadi 50 kg, dibantu anak kos-nya, Henny menjual produk ini melalui Kaskus. Dan berhasil.Produksi terus meningkat hingga berhasil menambah karyawan dan produksi. Henny pun menawarkan kerjasama keagenan untuk memperbesar penjualan. Nilai belanja awal tiap agen minimal 15 kg. Abon Cabe Ninoy pun booming. Selama 2011, penjualan bisa mencapai 1.000 kg per bulan.Namun, sukses berbuntut kehadiran pengekor. Henny harus menerima kenyataan usahanya ditiru orang. “Pebisnis rumahan bermunculan membuat abon cabai. Awal tahun lalu, bahkan, ada pabrik yang membuat abon. Tak bisa dipungkiri omzet kami turun,” kata dia.Pernah, penjualan hanya 60 kg sebulan. Selain pesaing yang bermunculan, banyak agen yang pindah ke lain merek. “Saya tidak bisa memaksa agen untuk terus bersama saya. Akhirnya kami bisa bangkit lagi, dan sudah bisa menjual 600 kg per bulan. Konsumen dan agen lama kembali lagi, karena memang abon cabai kami punya kualitas,” terang dia. Sejak tahun lalu, Henny menjual produknya di jaringan swalayan yang mengincar konsumen kelas menengah atas. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Henny, juru rias yang sukses berbisnis abon pedas
Sekalipun tak pernah kursus mengolah produk pangan, Henny Widjaja mampu memproduksi dan memasarkan abon cabai olahannya hingga menghasilkan omzet ratusan juta rupiah. Resepnya? Tekun belajar.Abon cabai sudah tidak asing lagi di telinga para penggemar pedas di tanah air. Ya, makanan jenis ini sempat booming dua tahun silam. Salah satu produsen generasi awal yang hingga kini masih eksis memproduksi abon cabai adalah Henny Widjaja. Dengan mengusung merek Ninoy Abon Cabe, Henny sukses di bisnis makanan olahan.Dalam sebulan, Henny mampu menjual 600 kilogram abon. Banderol harga yang ia pasang mulai dari Rp 35.000 untuk kemasan 100 gram (gr), Rp 80.000 untuk kemasan 250 gr, serta Rp 155.000 per 500 gram.Abon buatan Henny yang memiliki tujuh varian rasa ini lebih banyak dijual melalui sistem keagenan. Saat ini Henny memiliki lebih dari 50 agen yang aktif. Agen-agen Ninoy itu tersebar di beberapa wilayah Indonesia, dengan Jakarta sebagai pasar terbesar.Perempuan kelahiran Jakarta, 21 Juli 1974 ini menuturkan, melalui tangan para agen, Ninoy Abon Cabe bisa sampai ke negara-negara Eropa, Korea Selatan, dan Dubai. Tidak sedikit juga buyer besar yang datang langsung ke Henny. “Saya itu tidak pernah belajar mengolah pangan. Dari kecil justru belajar salon,” ujar ibu dari Josua ini. Sejak umur sebelas tahun, Henny sudah mahir memotong rambut. Maklum, sang ibu memang memiliki usaha salon.Setelah lulus SMA, Henny kebagian sampur meneruskan usaha salon. Tak tanggung-tanggung, Henny belajar tata rambut hingga ke Inggris. Usai sekolah, Henny pun berbisnis salon selama empat tahun. “Ternyata, mama pengin saya kuliah. Akhirnya tahun 1996, saya berangkat ke Australia,” kenangnya. Dia kuliah mengambil program diploma jurusan manajemen bisnis.Sebulan di Negeri Kanguru, Henny mencoba melamar menjadi penata rambut di sebuah salon. “Untung saya mengantongi sertifikat kursus rambut dari Inggris. Syarat menjadi hair stylist di Australia adalah memiliki sertifikat,” tutur dia.Setelah lulus kuliah, tahun 2000 Henny pulang ke Indonesia. “Saya tidak bekerja berdasarkan ijazah kuliah. Pulang ke Indonesia, ya, kerja di salon lagi,” ujar Henny sambil tertawa. Henny bekerja di Cay-cay Salon Jakarta. Di tempatnya bekerja, Henny mendapat tugas di luar. Antara lain ke stasiun televisi RCTI untuk merias para presenter. Oleh manajemen salon, Henny lebih sering tugas ke luar salon untuk make up para rekanan.Akhirnya, Henny memilih mengundurkan diri dan bekerja sebagai freelancer di Cay-cay Salon. Sebagai freelance, tentu pendapatan Henny tidak tetap. Henny pun membuka warung makan sederhana di area rumahnya di Semanggi, Jakarta. Dia juga membuka warung rokok, dan usaha laundry kiloan. “Karena saya cuma tinggal bersama anak, ya, beberapa ruangan rumah kami sulap menjadi enam kamar kos,” ujar dia.Kehilangan pembeliHenny menjalankan semua usaha itu sembari tetap menjadi penata rias. Bahkan, dia sempat dikirim ke Spanyol untuk belajar oleh sebuah perusahaan nail art. Henny terikat kontrak sebagai pengajar di perusahaan nail art tersebut selama setahun. Selepas dari situ, dia mendapat tawaran menjadi figuran film layar lebar berjudul Arisan. “Pokoknya menjadi jarang di rumah. Hingga, akhir 2008, saya diberi sambal oleh teman dari Bandung,” kata dia.Sebagai penggemar sambal kelas berat, Henny berusaha meniru sambal dari sang teman. Namun karena basah, sambal itu benyek bila dibawa bepergian, Henny pun bereksperimen untuk mengeringkan cabai-cabai basah lantas membumbuinya hingga menjadi abon yang kering bila dibawa bepergian.Awalnya, Henny hanya membuat 1 kg, yang dibagikan ke teman-temannya. Lantas, ia membuat lebih banyak lagi, 5 kg, dan dijual di warung makannya. “Anak-anak kos pada suka. Saya juga bawa makanan ini ke Bandung, teman saya pun bantu jual,” kenang dia. Produksi pun meningkat menjadi 50 kg, dibantu anak kos-nya, Henny menjual produk ini melalui Kaskus. Dan berhasil.Produksi terus meningkat hingga berhasil menambah karyawan dan produksi. Henny pun menawarkan kerjasama keagenan untuk memperbesar penjualan. Nilai belanja awal tiap agen minimal 15 kg. Abon Cabe Ninoy pun booming. Selama 2011, penjualan bisa mencapai 1.000 kg per bulan.Namun, sukses berbuntut kehadiran pengekor. Henny harus menerima kenyataan usahanya ditiru orang. “Pebisnis rumahan bermunculan membuat abon cabai. Awal tahun lalu, bahkan, ada pabrik yang membuat abon. Tak bisa dipungkiri omzet kami turun,” kata dia.Pernah, penjualan hanya 60 kg sebulan. Selain pesaing yang bermunculan, banyak agen yang pindah ke lain merek. “Saya tidak bisa memaksa agen untuk terus bersama saya. Akhirnya kami bisa bangkit lagi, dan sudah bisa menjual 600 kg per bulan. Konsumen dan agen lama kembali lagi, karena memang abon cabai kami punya kualitas,” terang dia. Sejak tahun lalu, Henny menjual produknya di jaringan swalayan yang mengincar konsumen kelas menengah atas. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News