KONTAN.CO.ID - Kebijakan pemerintah dalam menentukan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk sejumlah komoditas pangan bagai pedang bermata dua. Di satu sisi kebijakan ini menguntungkan konsumen karena memungkinkan mereka mendapat pangan dengan harga relatif terjangkau. Namun di sisi lain, produsen harus gigit jari karena tak potensi margin keuntungannya dibatasi. Padahal, harga produksi terus meningkat. Penetapan HET juga berpotensi membunuh kompetisi dalam persaingan usaha karena mematikan upaya produsen memberikan nilai tambah pada produk mereka. Agus Pakpahan Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia (AGI) mengatakan, penetapan HET gula merupakan suatu kemunduran bagi industri gula dalam negeri. Sebelum penetapan HET, harga gula di pasaran bertengger di kisaran Rp 14.000 per kilogram (kg) hingga Rp 16.000 per kg.
Namun dengan penetapan HET Rp 12.500 per kg, maka produsen gula mengalami kerugian karena biaya produksi gula yang terus mengalami kenaikan setiap tahun. "Bagi produsen gula, harga itu berhubungan dengan biaya produksi. Bagi industri yang biaya produksinya rendah, masih memiliki kesempatan mendapatkan keuntungan, tapi bagi produsen yang biaya produksinya tinggi, maka margin mereka sangat kecil, atau bahkan menderita rugi," ujarnya kepada KONTAN, Minggu (3/9). Menurut Agus, seharusnya penentuan harga pangan di dalam negeri tidak selalu mengacu ke harga murah di pasar internasional. Sebab harga komoditas yang murah di luar negeri itu disebabkan adanya subsidi dari pemerintah. Selain itu, mesin-mesin yang digunakan untuk mengolah hasil pertanian juga lebih efisien dan modern. Saat ini, sejumlah produk gula bermerek sudah mulai hilang di pasar ritel maupun tradisional sejak penerapan HET. Di khawatirkan hal serupa akan terjadi pada produk pangan lain yang HET nya dipaksakan pemerintah. Seperti beras premium dan minyak goreng ber merek. Anti inovasi Pengamat Pertanian, Khudori menambahkan penetapan sejumlah HET untuk komoditas pangan seperti daging beku impor, minyak goreng curah dan kemasan sederhana, dan gula di ritel modern masih bisa dipandang positif. Karena bagaimana pun, produsen yang masuk ke pasar modern rata-rata sudah terdaftar dan memiliki mesin produksi modern dan efisien. Namun kebijakan Kementerian Perdagangan (Kemdag) menetapkan HET untuk beras baik di pasar modern maupun di pasar tradisional akan berdampak negatif terhadap perkembangan usaha dalam negeri. "Seharusnya dalam menetapkan HET, cukup untuk kebutuhan pokok yang dibutuhkan masyarakat kelas menengah ke bawah, seperti beras medium dan minyak goreng curah," ujarnya.
Namun bila pemerintah juga turut mengatur HET untuk beras premium yang selama ini dikonsumsi masyarakat kelas menengah ke atas, maka hal ini sama saja dengan mematikan kreativitas dan inovasi yang dilakukan perusahaan dalam negeri. Padahal, setiap perusahaan itu seharusnya diberikan kesempatan melakukan inovasi untuk produk-produk pangan yang berkualitas. Dan untuk itu butuh investasi yang tidak murah. Tapi dengan membatasi margin keuntungan, maka sama saja pemerintah anti inovasi. "Saya kira hal ini akan menurunkan minat dunia usaha melakukan inovasi dan investasi di dalam negeri," tandasnya. Ketua Koperasi Pedagang Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) Zulkifli Rasyid mengatakan dalam dua bulan akan banyak pabrik penggilingan yang tidak beroperasi dan gabah petani tidak diserap. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Rizki Caturini