KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) mengungkap alasan kurang berkembangnya smelter alumina atau pabrik pengolahan bijih bauksit dibandingkan dengan smelter nikel. Plh Ketua Umum APB3I Ronald Sulistyanto mengatakan, dibandingkan dengan nikel, produk turunan bauksit hanya ada dua yaitu alumina kemudian produk paling hilir adalah aluminium. Untuk membuat smelter alumina saja, Ronald menghitung diperlukan dana sebesar US$ 1 miliar atau setara dengan Rp 15,86 triliun. Angka ini hampir 10 kali lipat lebih besar dari modal membuat smelter nikel. Baca Juga: Tingkatkan Kapasitas Smelter, MIND ID Geber Produksi Aluminium "Kalau bauksit cuma punya 2 tingkat, kalau nikel punya tlebih dari 10. Sekarang pengusaha bisa memilih yang mana nih, misalnya nikel tingkat 1, feronikel gitu ya. Itu ya lebih murah investasinya, mungkin US$ 10 juta atau paling besar US$ 50 juta," katanya saat dihubungi Kontan, Rabu (27/11). Modal yang besar inilah yang menjadi pertimbangan beberapa pengusaha, terutama untuk mengejar Break Even Point (BEP) atau titik impas dari smelter alumina yang akan dibuat. Selain masalah modal, ia mengatakan ada beberapa masalah non teknis yang membuat investor sedikit menahan diri, jika dibandingkan investasi nikel. "Masalahnya mungkin banyak kendala-kendala non teknis yang masih menyelimuti para investor itu untuk hadir di Indonesia. Itulah mestinya pemerintah melakukan kajian-kajian apakah ini (penyebabnya) terbelenggu oleh masalah aturan-peraturannya," katanya. Ia mencontohkan salah satunya adalah kepastian mengenai ketentuan pajak, hingga peraturan penanaman modal asing di dalam negeri. Baca Juga: Hilirisasi Minerba Sokong Target Investasi Tahun Ini "Nah kalau ketentuannya berubah-ubah dan tidak bisa memberikan porsi untuk memberikan ketenangan bagi investor, bagi dia (investor) mungkin menjadi kendala," tambahnya. Padahal menurutnya, dalam beberapa bulan terakhir harga alumina global mencapai rekor tertinggi. Adapun harga alumina telah naik 18% sejak awal Oktober. Melansir Reuters, harga aluminium untuk kontrak tiga bulan di London Metal Exchange (LME) naik 1,8% menjadi US$2.640 per ton pada pukul 10:25 GMT, mengungguli logam dasar lainnya. "Jadi kita harusnya mencoba melakukan investigasi. Kenapa investor itu justru sekarang opportunity sedang baik-baiknya kok tidak banyak yang berminat untuk menerapkan modal di Indonesia. Khususnya di tambang bauksit," jelasnya. Adapun, terkait hilirisasi bauksit, PT Indika Energy Tbk (INDY) sebagai salah satu emiten di sektor energi yang memiliki tambang bauksit yang dikelola oleh anak usahanya, PT Mekko Metal Mining (Mekko) mengungkap masih perlu melihat roadmap yang jelas terkait hilirisasi bauksit dalam negeri.
Hilirisasi Bauksit Masih Kalah dengan Nikel, Ini Penyebabnya
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) mengungkap alasan kurang berkembangnya smelter alumina atau pabrik pengolahan bijih bauksit dibandingkan dengan smelter nikel. Plh Ketua Umum APB3I Ronald Sulistyanto mengatakan, dibandingkan dengan nikel, produk turunan bauksit hanya ada dua yaitu alumina kemudian produk paling hilir adalah aluminium. Untuk membuat smelter alumina saja, Ronald menghitung diperlukan dana sebesar US$ 1 miliar atau setara dengan Rp 15,86 triliun. Angka ini hampir 10 kali lipat lebih besar dari modal membuat smelter nikel. Baca Juga: Tingkatkan Kapasitas Smelter, MIND ID Geber Produksi Aluminium "Kalau bauksit cuma punya 2 tingkat, kalau nikel punya tlebih dari 10. Sekarang pengusaha bisa memilih yang mana nih, misalnya nikel tingkat 1, feronikel gitu ya. Itu ya lebih murah investasinya, mungkin US$ 10 juta atau paling besar US$ 50 juta," katanya saat dihubungi Kontan, Rabu (27/11). Modal yang besar inilah yang menjadi pertimbangan beberapa pengusaha, terutama untuk mengejar Break Even Point (BEP) atau titik impas dari smelter alumina yang akan dibuat. Selain masalah modal, ia mengatakan ada beberapa masalah non teknis yang membuat investor sedikit menahan diri, jika dibandingkan investasi nikel. "Masalahnya mungkin banyak kendala-kendala non teknis yang masih menyelimuti para investor itu untuk hadir di Indonesia. Itulah mestinya pemerintah melakukan kajian-kajian apakah ini (penyebabnya) terbelenggu oleh masalah aturan-peraturannya," katanya. Ia mencontohkan salah satunya adalah kepastian mengenai ketentuan pajak, hingga peraturan penanaman modal asing di dalam negeri. Baca Juga: Hilirisasi Minerba Sokong Target Investasi Tahun Ini "Nah kalau ketentuannya berubah-ubah dan tidak bisa memberikan porsi untuk memberikan ketenangan bagi investor, bagi dia (investor) mungkin menjadi kendala," tambahnya. Padahal menurutnya, dalam beberapa bulan terakhir harga alumina global mencapai rekor tertinggi. Adapun harga alumina telah naik 18% sejak awal Oktober. Melansir Reuters, harga aluminium untuk kontrak tiga bulan di London Metal Exchange (LME) naik 1,8% menjadi US$2.640 per ton pada pukul 10:25 GMT, mengungguli logam dasar lainnya. "Jadi kita harusnya mencoba melakukan investigasi. Kenapa investor itu justru sekarang opportunity sedang baik-baiknya kok tidak banyak yang berminat untuk menerapkan modal di Indonesia. Khususnya di tambang bauksit," jelasnya. Adapun, terkait hilirisasi bauksit, PT Indika Energy Tbk (INDY) sebagai salah satu emiten di sektor energi yang memiliki tambang bauksit yang dikelola oleh anak usahanya, PT Mekko Metal Mining (Mekko) mengungkap masih perlu melihat roadmap yang jelas terkait hilirisasi bauksit dalam negeri.