Hilirisasi Biofuel Kian Dilirik Pelaku Usaha



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) menilai potensi hilirisasi biofuel dalam beberapa tahun mendatang semakin terbuka lebar.  Apalagi kebutuhan energi akan selalu meningkat sebagai kebutuhan utama selain pangan. Melihat potensi ini, sejumlah perusahaan hulu sawit mulai melirik untuk menjajaki bisnis hilirisasi biofuel.

Ketua Harian Aprobi Paulus Tjakrawan mengatakan, industri biodiesel sebagai salah satu produk turunan biofuel telah dimulai sejak 2005. Adapun hingga saat ini biodiesel berkontribusi sebesar 30% pada solar.

Nanti pada 1 Februari 2023, kontribusi biodiesel meningkat menjadi 35% pada solar. Untuk itu, Aprobi menegaskan siap untuk memasok biodiesel dengan kualitas serta volume sesuai dengan ketentuan.


Menurut Paulus, ke depannya permintaan biodiesel akan terus meningkat karena kebutuhan energi akan semakin menanjak.

“Energi sebagai kebutuhan utama selain pangan, maka peluang pengembangannya terbuka luas,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Kamis (19/1).

Baca Juga: Kerek Penerimaan Negara, Program Hilirisasi Akan Diperluas ke 21 Komoditas

Dia mengakui saat ini sudah ada beberapa pelaku usaha sawit yang merencakan untuk mengembangkan industri hilir biofuel, bahkan ini merupakan peminat baru. “Perusahaan yang sudah berkomunikasi dengan kami ada beberapa,” jelasnya.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, dengan diberlakukannya B35, Indonesia akan semakin dapat mengendalikan impor solar. Untuk pelaksanaan program B35 pada tahun 2023, ditargetkan penyaluran biodiesel mencapai 13,15 juta kL per tahun atau 226 ribu barel per hari.

Penghematan devisa diperkirakan mencapai sekitar US$ 10,75 miliar atau setara dengan Rp 161 triliun, penyerapan tenaga kerja sebanyak 1.653.974 orang dan penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 34,9 juta ton CO2e.

Namun, nilai tambah yang bisa diraup pelaku usaha belum bisa diprediksi lantaran harga sawit atau bahan baku dan bahan penyerta setiap hari berubah.

“Saat ini harga Biodiesel yang dibeli oleh Badan Usaha Bahan Bakar Minyak seperti Pertamina sesuai dengan ketentuan Kementerian ESDM,” tandasnya.

Beberapa waktu lalu, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana menyampaikan saat program implementasi biodiesel didesain, harga Crude Palm Oil (CPO) berada pada kisaran US$ 275 per ton dan terus meningkat seiring dengan peningkatan permintaan sawit karena implementasi biodiesel.

“Bagaimana supaya kita bisa angkat harga sawit ini karena harga sawit kan otomatis nanti transfer ke harga TBS (tandan buah segar) sawit di petani,” ujarnya.

Selain itu, Indonesia juga masih mengimpor solar meskipun grafiknya makin menurun. Dadan menyatakan, penurunan impor solar ini menjadi salah satu terobosan dan bukti hasil penelitian dan pengembangan dapat diimplementasikan dan memberikan manfaat yang luas.

Selain mendorong permintaan terhadap sawit, pemerintah juga mendorong penyebaran pembangunan pabrik pengolahan CPO menjadi biodiesel. Sekarang banyak pabrik yang didirikan untuk mengolah CPO menjadi biodiesel, di wilayah Sumatera hingga Sulawesi.

“Saat ini kami sedang mendorong pembangunan pabrik di Papua untuk mendorong permintaan dan penyebaran di wilayah Papua,” kata Dadan.

Sejatinya hilirisasi biofuel tidak hanya berhenti pada biodiesel saja. Sebagai produk sampingan industri biodiese, maka Aprobi mengeluarkan produk glicerine dan fatty matter.

Selain itu, hilirisasi biofuel juga bisa menciptakan beberapa produk lain yakni biogas, biopremium, bioavtur, dan lain-lain.

Baca Juga: Susun Raodmap Perluasan Hilirisasi, Bahlil: Bisa Berdampak ke Penerimaan Negara

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat