Hilirisasi Digeber, Eksplorasi Cadangan Mineral Baru Jangan Diabaikan



KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pemerintah tengah menggenjot program hilirisasi tambang. Namun, ada ketidaksesuaian alias missmatch antara pasokan bahan baku mineral dengan permintaan smelter.

Ini seperti yang terjadi di komoditas nikel. Missmatch ini mencerminkan abainya pemerintah menambah cadangan baru di sisi hulu.  

Dikhawatirkan, jika tidak ada evaluasi peta jalan (roadmap) hilirisasi yang komprehensif terkait pasokan cadangan mineral di hulu dan kebutuhan smelter, program yang dibangga-banggakan pemerintah ini akan terhambat. 


Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan, kekurangan pasokan bahan baku untuk smelter nikel yang terjadi saat ini mencerminkan abainya pengelolaan di sisi hulu oleh pemerintah. 

“Di sisi lain, pemerintah justru fokus memberikan berbagai insentif fiskal kepada pelaku di industri pengolahan. Akibatnya ada missmatch antara nikel yang dibutuhkan untuk pengolahan,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Senin (9/10). 

Baca Juga: Pasokan Domestik Minim, Smelter Berburu Bijih Nikel dari Impor untuk Bahan Baku

Melihat kondisi ini, Bhima mengusulkan agar eksploitasi bijih nikel sekaligus pembangunan smelter nikel baru dilakukan moratorium.

Sebelum memberi izin tambang nikel, pemerintah sebaiknya  melihat tiga variabel utama, yakni harga nikel di level internasional yang mencerminkan situasi permintaan, pasokan bijih nikel ke pabrik smelter dan dampak sosial lingkungan dari hilirisasi nikel. 

“Jika roadmap hilirisasinya nya tidak terukur khawatir investor juga akan berpikir ulang untuk membeli nikel olahan dari Indonesia,” kata Bhima. 

Bhima menceritakan, sebelumnya beberapa pihak menyalahkan Indonesia karena melakukan eksploitasi besar-besaran nikel membuat supply glut dan menurunkan harga nikel di pasar internasional.

Sebelumnya, harga nikel di pasar spot pernah menembus US$ 48.781 per ton pada Februari 2022 lalu berangsur turun. Saat ini harga nikel di pasar spot jatuh 18,13% year on year (yoy) atau berada di level US$ 18.310 per ton akibat pasokan berlebih. 

Secara umum, Bhima menegaskan, program hilirisasi di Indonesia harus didukung juga dengan pembaruan roadmap yang mencakup hulu hingga hilir di tiap-tiap komoditas. Jika tidak, masalah yang terjadi pada industri nikel bisa juga terjadi di komoditas mineral lainnya. 

“Bisa jadi termasuk pada kasus pasir silika, bauksit, tembaga yang dikhawatirkan terjadi missmatch dengan hilirisasi ketika tidak disiapkan proyeksinya dengan baik,” ujarnya. 

Sekjen Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian (AP3I), Haykal Hubeis mengatakan, ke depannya pengusaha berharap pemerintah dapat mengubah peta jalan (roadmap) untuk membenahi industri hilirisasi, khususnya ketersediaan bahan baku.

Baginya, kalau pemerintah mau menjamin bahan baku secara merata, pemerintah juga harus terjun langsung melakukan kegiatan Good Mining Practice di area-area yang dianggap berpotensi. 

Melalui cara tersebut, pemerintah bisa memiliki kebijakan khusus memetakan pasokan bijih nikel  ke perusahaan-perusahaan yang belum memiliki kepastian pasokan bahan baku jangka panjang. 

Menurutnya, cara tersebut wajar dilakukan karena berkaca dengan industri yang sudah maju hilirisasinya, pemerintah dapat campur tangan menentukan pemetaan dan pasokan bahan baku. 

“Mereka juga punya kebijakan tersendiri yang mengatur bahan baku dapat dinikmati semua pengusaha smelter. Tetapi pemerintah melibatkan dirinya dalam masalah eksplorasi untuk neraca bahan baku,” ujarnya kepada Kontan.co.id beberapa waktu lalu. 

Jika dilihat dari sisi hukum, aksi pemerintah campur tangan dalam eksplorasi cadangan baru nikel dan pemetaan pasokannya justru sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 

Selama ini, kata Haykal, kegiatan eksplorasi mencari cadangan mineral dan batubara memang dilakukan pihak swasta. Sedangkan negara melakukan kegiatan tersebut melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk kepentingan wilayah dan korporasinya sendiri. 

Sedangkan, pemerintah hanya memberikan sinyal mengenai wilayah-wilayah yang berpotensi menyimpan cadangan nikel seperti di Halmahera, Maluku Utara, dan di tempat lainnya. 

“Jadi keterlibatan pemerintah dalam hal ini ringan sekali, tetapi beban yang besar justru ada di tangan penambang dan investor smelter itu” imbuhnya. 

Di lain pihak, tidak semua smelter bisa masuk menggarap eksplorasi mencari cadangan nikel baru khususnya bagi smelter yang hanya mengantongi Izin Usaha Industri (IUI). Untuk beralih ke pertambangan, pihaknya harus mengubah semua perizinan. 

Baca Juga: Lelang 10 WIUP Mineral Logam dan Batubara, Pengusaha Harus Jeli Memilih Lokasinya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat