Hilirisasi Mineral Cukup Berhasil Tapi Serapan di Dalam Negeri Masih Minim



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) menilai, program hilirisasi mineral seperti nikel dan timah cukup berhasil mendongkrak pendapatan negara. Namun, sejauh ini, penyerapan produk mineral bernilai tambah tersebut masih belum maksimal.

Ketua Umum Perhapi Rizal Kasli menyampaikan sejauh ini langkah hilirisasi minerba dinilai cukup berhasil terutama di beberapa komoditas seperti nikel dan timah.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mengamanahkan hilirisasi merupakan kewajiban. Pemerintah pun telah melarang ekspor bahan mentah atau bijih mineral ke luar negeri dengan tujuan agar hilirisasi berjalan baik di Indonesia.

Perlu diketahui bahwa sesuai Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI)  Kementerian ESDM bertugas melakukan hilirisasi sampai mencapai produk antara (intermediate product) dan selanjutnya di industri hilir menjadi tugasnya Kementerian Perindustrian.

Khusus di komoditas nikel sudah banyak berdiri smelter dan refinery untuk mengolah nikel menjadi produk seperti Nickel Matte, NPI, FENI dan juga MHP sebagai bahan baku beterei kenderaan listrik (EV).

“Namun, karena belum dapat diserap di dalam negeri produk-produk tersebut masih banyak yang diekspor ke negara lain untuk diolah menjadi produk jadi (industri manufaktur),” jelasnya kepada Kontan.co.id, Jumat (14/10).

Baca Juga: Amman Mineral Telah Guyur Investasi US$ 465 Juta ke Proyek Smelter Tembaga

Sejauh ini masih ada beberapa komoditas yang belum berkembang hilirisasinya seperti komoditas besi terutama pasir besi (iron sand). Mineral tersebut belum berkembang pengolahan dan pemurniannya di Indonesia. Iron sand umumnya digunakan untuk industri semen.

Rizal menjelaskan, untuk iron ore sudah ada beberapa smelter yang dibangun dan beroperasi, namun perlu ditingkatkan jumlahnya agar dapat menyerap produknya  di Indonesia.

Untuk komoditas bauksit, kata Rizal, saat ini baru ada dua refinery dan satu peleburan alumunium yang dibangun dan beroperasi di Indonesia. Beberapa sedang dalam pembangunan dan studi kelayakan.

Saat ini bijih bauksit masih diekspor ke luar negeri. Sedangkan bahan baku aluminium yang diperlukan untuk industri pembentukan dan manufaktur domestik diimpor dari luar negeri.

“Umumnya, penyerapan produk turunan mineral tersebut masih sangat rendah karena belum dibangunnya ekosistem industri yang dapat menyerap produk antara tersebut, masih jauh di bawah 50% serapan domestiknya. Hampir sebagian besar produk antara tersebut diekspor ke luar negeri,” terang Rizal.

Dia memberikan gambaran, pada tahun 2020 produk Nickel Matte (40%-70% Ni) dan FeNi (16%-30% Ni) masing-masing sebesar 91,200 ton dan 2,8 juta ton semuanya diekspor. Sedangkan, Indonesia masih banyak mengimpor seperti stainless steel (slab, HRC, Rod/bar, pipe, tube dan wire). Khusus kebutuhan Cobalt hamper semuanya masih impor.

Setelah pelarangan bijih nikel dijalankan pada 2020, Pemerintah Indonesia akan mendorong pelarangan bijih mineral timah dalam waktu dekat. Rizal berpesan, untuk pelarangan ekspor timah (tin ingot) perlu dilakukan kajian mendalam terlebih dahulu agar hasilnya maksimal. Perhapi saat ini sedang mengkaji hal tersebut untuk memberikan rekomendasi kepada pemerintah dalam hal kebijakan.

“Intinya memang pembangunan industri dalam negeri perlu dilakukan segera agar daya serap di dalam negeri dapat dilakukan secara maksimal. Demikian juga untuk tembaga dan bauksit,” kata Rizal.

Untuk tembaga bauksit, beberapa perusahaan sedang dan akan membangun pengolahannya di dalam negeri seperti PT Freeport Indonesia di Gresik. Untuk bauksit di Bintan dan Kalimantan Barat.

Baca Juga: Indonesia Diprediksi Kelebihan Pasokan Katoda Tembaga di 2025, Ini Kata Menteri ESDM

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat