KONTAN.CO.ID - Meningkatkan edukasi terkait layanan industri peer to peer lending atau pinjaman online semakin mendesak kala kebutuhan masyarakat atas kredit atau pinjaman dari sektor non perbankan terus meningkat. Pernyataan ini bukan main-main semata. Dalam survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), selama Januari 2024 tercatat jumlah pengguna layanan pinjaman online mencapai 8,86 juta orang atau sekitar 5,4% dari total pengguna internet di Indonesia. Angka ini meningkat dari survei sebelumnya sebanyak 2,7 juta orang atau 1,5% dari total pengguna internet di Indonesia. Tak ayal pihak tidak bertanggung jawab pun memanfaatkan hal tersebut untuk memberi pinjaman tanpa mengikuti aturan yang berlaku. Sebagai akibatnya, beragam tindak kejahatan timbul, salah satunya penipuan oleh pihak tidak bertanggung jawab yang mengatasnamakan perusahaan peer to peer lending yang legal.
Oleh karena itu, kita perlu membekali masyarakat dengan pemahaman mengenai layanan dan fasilitas peer to peer lending, termasuk potensi kerugian dan solusinya,” ujar Brand Manager PT Pembiayaan Digital Indonesia (AdaKami) Jonathan Kriss, pada Selasa (13/2). Pihak tersebut pun menggunakan berbagai modus penipuan, mulai dari mencatut nama, membuat situs ilegal, aplikasi, dan surat elektronik yang hampir mirip peer to peer lending legal. Bahkan, pelaku penipuan (fraud) kadang mengirimkan pesan pribadi kepada masyarakat untuk menawarkan pinjaman dengan atau tanpa mencatut nama perusahaan peer to peer lending legal. Padahal, OJK selaku regulator telah menyampaikan secara tegas bahwa penawaran pinjaman online melalui pesan singkat maupun Whatsapp tidak diperbolehkan. Untuk itu, penting bagi masyarakat agar berhati-hati saat hendak memanfaatkan pinjaman melalui layanan dan produk milik perusahaan penyedia jasa peer to peer lending legal. Agar tidak terkecoh, masyarakat juga bisa mengecek situs resmi penyedia peer to peer lending yang ada pada situs resmi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Saat ini ada 101 penyedia jasa peer to peer lending legal dan berizin di Indonesia. Semuanya, termasuk AdaKami, taat dengan aturan yang telah ditetapkan oleh OJK. Jika sudah memahami bahwa penyedia layanan peer to peer lending legal tidak diperkenankan untuk menawarkan pinjaman lewat SMS maupun whatsapp, maka masyarakat yang mendapat pesan tawaran pinjaman online bisa lebih waspada dan mengantisipasi potensi jeratan pinjol ilegal atau pelaku penipuan,” tambahnya.
Jonathan menambahkan, masyarakat perlu menjaga data pribadi seperti foto KTP dan semua keterangan yang ada di dalamnya agar terhindar dari penyalahgunaan data oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. “Ada kasus di mana seseorang merasa tidak pernah mengajukan bahkan menggunakan pinjaman tetapi tahu-tahu memiliki tunggakan. Bukan hanya di industri peer to peer lending. Kasus serupa juga jamak di industri penyedia layanan keuangan lainnya, seperti pada penggunaan kartu kredit misalnya,” ujar Jonathan. Menurutnya, tindakan-tindakan pelanggaran hukum seperti itu masih menjadi tantangan besar industri peer to peer lending tahun ini. Sebagai catatan, sejak 2017, Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas PASTI) telah menutup sedikitnya 6.055 entitas pinjaman online ilegal, termasuk pinjaman pribadi (pinpri) yang tidak berizin. Untuk menghindari hal tersebut, Jonathan menambahkan masyarakat perlu meningkatkan literasi keuangan agar bisa lebih bijak dalam memanfaatkan fasilitas yang disediakan penyelenggara jasa peer to peer lending. “Pinjaman merupakan fasilitas yang dihadirkan untuk memudahkan dan mempercepat pemenuhan kebutuhan masyarakat, khususnya yang mendesak. Perlu dipahami bahwa pemenuhan kebutuhan ini dibarengi dengan syarat dan kewajiban yang mengikat. Oleh karena itu, masyarakat harus bisa lebih bijak dalam menyikapi dan memanfaatkan kemudahan yang ada,” pungkasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Ridwal Prima Gozal