Hingga April, CPO bersertifikat mencapai 1,2 juta ton



JAKARTA. Produsen minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO) Indonesia terus memproses sertifikasi berkelanjutan atau Certified Sustainable Palm Oil (CSPO) agar CPO kita dapat diterima oleh pasar ekspor. Data Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) menunjukkan, CPO yang telah mengantongi CSPO sepanjang Januari-April 2011 mencapai 1,2 juta ton. Jumlah ini jauh melebihi CSPO sepanjang tahun 2010 yang hanya 800.000 ton.

Desi Kusumadewi, Direktur RSPO Indonesia, mengungkapkan, peningkatan produksi itu seiring dengan semakin banyaknya perusahaan dan pekebun rakyat (smallholder) yang semakin sadar pentingnya pelestarian lingkungan.

Pada tahun 2009, dari 51 perusahaan Indonesia yang tergabung di RSPO, baru tiga perusahaan yang mendapat CSPO, yakni Grup Musim Mas, Grup Hindoli, dan Grup London Sumatera. Namun tahun lalu, jumlah ini melejit menjadi 15 perusahaan.


Tren kenaikan ini berlanjut di tahun 2011. "Hingga April kemarin, perusahaan yang sudah mendapat CSPO sebanyak 22 perusahaan," ujar Dewi, Kamis (19/5). Jumlah ini diprediksi akan terus meningkat. Pasalnya, hingga saat ini ada 23 perusahaan yang sudah mengajukan CSPO.

RSPO sudah mengaudit beberapa di antara perusahaan itu. Sementara beberapa perusahaan lainnya, baru akan diaudit dalam waktu dekat. Semakin banyaknya perusahaan yang mengantongi sertifikasi inilah yang membuat produksi CSPO meningkat.

Darrel Webber, Sekretaris Jenderal RSPO, menambahkan, popularitas CSPO memang terus meningkat. Awalnya, sertifikasi ini booming ketika konsumen Eropa menuntut CPO yang diekspor ke wilayah tersebut berasal dari kebun yang menjaga kelestarian lingkungan.

Praktis, tanpa mengantongi sertifikat, konsumen Eropa enggan menerima ekspor CPO tersebut. Berawal dari tuntutan tersebut, kini pamor CSPO kian melambung seiring dengan makin bertambahnya perusahaan yang sadar akan keberlanjutan lingkungan.

Semakin populernya sertifikasi ini juga terlihat dari penjualan CSPO yang meningkat dari tahun ke tahun. Menurut Darrel, pada tahun 2009, penjualan CSPO hanya sekitar 26% dari total produksi CSPO dunia yang sekitar 3 juta ton. "Tahun lalu, penjualan ini membumbung menjadi 56%," jelasnya.

Untuk meningkatkan kesadaran lingkungan, sertifikasi CSPO kini tak hanya ditujukan untuk perusahaan besar, tapi juga smallholder. Pekebun rakyat ini dapat mengajukan aplikasi bersama kelompok pekebun di wilayahnya. "Sudah ada sekitar 3.500 petani di Indonesia yang sudah dapat CSPO," tutur Desi.

Menurutnya, dana dan teknik berkebun masih menjadi kendala smallholder untuk mengantongi sertifikat. Meski begitu, RSPO akan terus mengedukasi pekebun kecil. Maklum, mereka menguasai sekitar 45% lahan perkebunan sawit nasional yang mencapai 7,5 juta hektare (ha).

Menanggapi hal ini, Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar Arsyad mengatakan, petani kelapa sawit sebenarnya ingin mendapatkan sertifikat CSPO. Namun, para petani keberatan dengan biaya sertifikasi yang terlalu tinggi, yaitu US$ 40 per ha.

Para petani juga keberatan dengan beberapa persyaratan RSPO, misalnya tidak boleh menanam sawit dalam jarak 100 meter dari sungai. "Lahan bisa berkurang karena biasanya kami hanya memiliki lahan sedikit, sekitar 1 ha-2 ha," ungkap Asmar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini