Lagu karya Jogja Hip Hop Foundation (JHF) banyak yang berisi kritik sosial. Sebut saja lagu yang berjudul Cicak Nguntal Boyo. Lagu ini lahir di tengah-tengah perseteruan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kepolisian RI (Polri), yang digambarkan sebagai cicak dan buaya. Sebagai komunitas yang berisi kaum muda, para anggota JHF merasa miris melihat moralitas para pejabat kita yang cenderung ngawur. “Tetapi, sebagai orang yang mencintai Indonesia, marilah kita terus bekerja, lupakan negara. Yang muda harus hidup rukun, membangun, dan kelak memetik hasilnya,” imbuh Marzuki Mohammad, pendiri JHF. Zuki, panggilan Marzuki, ingin Indonesia yang punya kekayaan tradisi, seni, dan budaya tidak terlalu mengedepankan diplomasi politik dan ekonomi. Sebab, jiwa bangsa ini bisa menjadi kering dan tandus. Nah, “Sebelum kejadian, perlu gerakan untuk kembali ke akar budaya,” kata Zuki.
Itu sebabnya, dalam lagunya, JHF juga memadukan hip hop dan budaya lokal, khususnya Jawa. Contoh, lewat album Poetry Battle, lirik lagu JHF mengutip teks asli Serat Centhini dan Sindhunata. Hasilnya, pertemuan musik dengan teks-teks itu menjadi sebuah senyawa yang sempurna. Begitu juga dengan lagu-lagu Molukka Hip Hop Community (MHC) dalam album Beta Maluku. Mereka mengangkat nilai-nilai budaya kapata dan kapanya. Kapata adalah prosa atau sajak lisan tua Maluku yang berisi nasihat-nasihat dan mantra-mantra.