KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pada Selasa, 12 Mei 2020, DPR RI mengesahkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid19 menjadi Undang-Undang (UU). Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan BPP Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Ajib Hamdani menilai dalam beleid tersebut ada salah satu point yang menjadi kontradiksi. Perppu 23/2020 mempunyai mandate bahwa pemerintah pada tahun 2020, 2021 dan 2022 batasan defisit anggaran melebihi 3% bahkan sampai 5,07%.
Baca Juga: Amien Rais siap mengajukan gugatan baru jika uji materi Perppu 1/2020 ditolak MK Memang, Ajib menilai pemerintah mempunyai ruang gerak luar biasa untuk mendesain Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang cocok dengan program-program pemerintah dengan struktur defisit, tanpa sepersetujuan DPR. “Fungsi budgeting DPR ternihilkan, sehingga tidak memerlukan penanganan khusus atas potensi manuver politik DPR RI,” kata Ajib kepada Kontan.co.id, Sabtu (16/5). Di sisi lain, dalam Perppu 23/2020, pemerintah justru membuat kebijakan insentif fiskal, yang sebenarnya sudah termuat dalam draft RUU Omnibus Law Perpajakan. Insentif pajak berupa penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) wajib pajak badan diturunkan dalam tempo tiga tahun ke depan. Yakni, tahun 2020 dan 2021 turun dari 25% menjadi 22%, serta tahun 2022 menjadi 20%. Dus, dengan penerimaan PPh Badan tahun 2019 sebesar Rp 256 triliun, Ajib meramal penurunan tarif ini akan mengoreksi penerimaan sekitar minus Rp 30 triliun, dengan asumsi size ekonominya sama. Kontraksi lebih dalam akan terjadi lagi di periode 2022. “Di sinilah kontradiksi yang terlihat, ruang defisit ditambah, tapi ruang fiskal justru dipersempit,” ujar Abib.
Baca Juga: Perppu 1/2020 jadi UU, Sri Mulyani lega dan berterimakasih kepada DPR Menurutnya, bahwa insentif fiskal ini memberikan ruang likuiditas agar sektor usaha berjalan dengan baik dan daya saing yang lebih positif untuk Indonesia. Namun, dia bilang pemerintah tidak cukup matang untuk merancang penerima insentif pajak tersebut. “Selama tiga tahun ke depan, kita akan melihat, merasakan, dan bisa menghayati, desain APBN apakah akan bermanfaat buat masyarakat luas, buat bangsa, atau buat kalangan elit,” kata dia. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto