KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Masyarakat yang tinggal di wilayah lingkar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Cirebon 1 berharap rencana pemensiunan dini pembangkit fosil dapat memberikan perubahan pada kondisi lingkungan dan sosial yang selama ini melanda desanya. Masyarakat lokal sekitar PLTU Cirebon 1 terkonsentrasi di dua desa, yakni di Desa Kanci Kulon dan Desa Waruduwur. Secara tipologi masyarakat, terdapat dua kelompok masyarakat, yakni orang darat dan orang laut. Perubahan lanskap sosial dan lingkungan di daerah lingkar pembangkit berubah setelah beroperasinya PLTU Cirebon 1. Hal ini diceritakan dalam laporan yang dirilis SALAM Institute berjudul
Transisi Energi Berkeadilan di Jawa Barat: Studi Kasus PLTU Cirebon 1 bagi Aspek Sosial dan Aspek Ketenagakerjaan.
Laporan ini membeberkan hasil tangkapan nelayan, baik ikan maupun rajungan, semakin menjauh dari daratan setelah beroperasinya pembangkit batubara Cirebon 1. Akibatnya, nelayan harus melaut jauh ke tengah dan berdampak pada ongkos yang semakin besar maupun waktu tempuh yang semakin lama. Menjauhnya hasil tangkapan salah satunya disebabkan oleh tumpahan limbah cair maupun batubara ke dasar laut yang kemudian merusak ekosistem di dalamnya.
Baca Juga: Rencana Pensiun Dini PLTU, Pemerintah Pertimbangkan Hal Ini Dari sisi yang lain, berdasarkan catatan SALAM Institute, pendapatan masyarakat juga jadi berkurang lantaran mata pencahariannya terganggu. Kerang ijo bagi masyarakat Cirebon pesisir bukanlah sembarang mata pencaharian. Berdasarkan penuturan salah satu warga, penghasilannya dari kerang ijo saja bisa mencapai sekitar Rp 60 juta per tahunnya. Namun, masa kejayaan kerang ijo berakhir ketika warga Waruduwur mendapatkan imbauan dari pihak PLTU untuk mencabut keramba-keramba kerang ijo mereka agar tidak mengganggu jalannya proses konstruksi. Akibatnya, warga mendapatkan dampak langsung dalam hal terganggu hingga hilangnya mata pencaharian budidaya kerang ijo. Dengan digusurnya kerambah kerang ijo milik warga tersebut, warga hanya diberikan ganti rugi sebesar Rp 3 juta per kerambahnya. Penggantian tersebut kiranya dirasa sangat tidak sebanding dengan apa yang telah mereka peroleh sebelumnya. Selain kerang ijo, para petani garam juga memperoleh dampak yang buruk. Salah satu warga petambak garam mengatakan, ia dapat menghasilkan Rp 19 juta dalam satu musimnya.
Baca Juga: Butuh Dana Rp 21 Triliun untuk Pensiun Dini PLTU Cirebon Namun, dengan hadirnya PLTU, tambak garam miliknya terganggu, khususnya dalam hal debu batubara yang berkeliaran. Garam miliknya berubah menjadi berwarna hitam, sehingga tidak layak lagi untuk dikonsumsi. Selain itu, lahan yang digunakan oleh para petambak garam pun sudah beralih fungsi menjadi PLTU, sehingga salah satu sumber mata pencaharian masyarakat Cirebon pesisir menjadi terdampak. PLTU Cirebon I merupakan pembangkit pertama di Cirebon yang diresmikan oleh Menteri Jero Wacik pada tahun 2012. Pembangkit ini memiliki kapasitas produksi 660 MW dan disebut sebagai pembangkit yang menggunakan teknologi canggih karena mampu membakar batu bara berkalori rendah. Dengan kapasitas produksi sebesar 660 MW pembangkit ini mengonsumsi kurang lebih 8.000 ton batu bara per hari. Dari konsumsi batubara sebanyak itu, PLTU Cirebon I menghasilkan kurang lebih 4.445 ton emisi karbon per hari, Maka, jika dikumpulkan selama 15 tahun kurang lebih menghasilkan emisi karbon sebanyak 30 juta ton.
Baca Juga: Kapan Pensiun Dini PLTU Cirebon Dilaksanakan? Ini Kata Sri Mulyani PLTU Cirebon I dibangun oleh konsorsium perusahaan multinasional PT Cirebon Electric Power (CEP) menelan biaya sebesar US$ 850 juta dan dilaksanakan atas dasar perjanjian kontrak jual beli listrik selama 30 tahun. Konsorsium PT CEP terdiri dari Marubeni (32,5%), Korea Midland Power co (27,5%), Samtan Co Ltd (20%), dan PT Indika Energy (20%). PLTU Cirebon I dalam skema pensiun dini Just Energy Transition Partnership (JETP) direncanakan akan diberhentikan operasionalnya pada tahun 2035. Meski kabar ini sudah mengemuka sejak 2022 silam, sampai dengan September 2024 rencana ini masih terus digodog. Untuk memensiunkan dini pembangkit Cirebon 1, menurut penuturan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dibutuhkan dana yang besar yakni kurang lebih US$ 1,3 miliar atau sekitar Rp 21 triliun. Adapun pendanaan pensiun dini PLTU ini akan menggunakan dana dari Asian Development Bank (ADB), melalui skema Energy Transition Mechanism (ETM) sebagai bagian dari komitmen Just Energy Transition Partnership (JETP).
Baca Juga: Pergantian Menteri ESDM Diharapkan Mempercepat Transisi Energi Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Eniya Listiani Dewi menyatakan, tidak mudah mempensiunkan dini pembangkit batubara. Meski PLTU Cirebon 1 sudah masuk dalam skema JETP, masih banyak hal yang harus dikerjakan. Rencana besarnya, pemensiunan dini PLTU Cirebon 1 bisa memberikan nilai ekonomi lain, yakni menciptakan bisnis karbon kredit. Namun hal ini masih dalam diskusi lebih dalam karena harga keekonomian karbonnya masih jauh dari harapan. “
Ini yang nilai ekonomis atau nilai value karbonnya itu saya melihatnya kemarin masih ada di skala US$ 2 per ton CO2. Sedangkan kami meminta harga karbonnya itu jika sudah dipensiunkan dihargai US$ 45 atau US$ 50 per ton CO2 ke atas,” ujarnya ditemui di Kementerian ESDM (20/8/2024). Terlepas dari alotnya proses pemensiunan dini dari segi bisnis, ada satu hal yang tidak boleh luput dipikirkan oleh pemerintah, yakni nasib
masyarakat di lingkar pembangkit setelah PLTU tidak beroperasi. Baca Juga: Kementerian ESDM Ungkap Peran Batubara Mengisi Transisi Energi Plt. Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan dan Keadilan Iklim Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Syaharani menyatakan untuk menjamin transisi dilakukan secara berkeadilan diperlukan penguatan instrumen lingkungan hidup, salah satunya Amdal. “Amdal PLTU Cirebon 1 tidak melakukan asesmen dampak pasca operasi sebagaimana yang dimandatkan oleh Permen LHK No. 4 Tahun 2021 sehingga kewajiban untuk memulihkan dampak lingkungan akibat operasi PLTU dan pemetaan dampak sosial termasuk dampak terhadap pekerja PLTU pun tidak dilaksanakan,” ujarnya belum lama ini. Oleh karena itu, selain aksesibel amdal juga perlu diperkuat untuk mampu menganalisa dampak atau resiko dari kegiatan transisi energi untuk menjamin partisipasi dan perlindungan hak. Apalagi, JETP juga mempunya kerangka safeguards yang perlu ditaati. Rencana pensiun dini PLTU Cirebon I ini pun berpotensi menimbulkan banyak pemutusan hubungan kerja. Potensi ini pun tidak menjadi perhatian para pemangku kebijakan, apakah para pekerja eks-PLTU ini akan dialihkan menjadi pekerja di pembangkit listrik dengan energi terbarukan ataukah dengan skema penyerapan tenaga kerja lainnya.
Baca Juga: Realisasi Investasi EBT Mini, Begini Strategi Kementerian ESDM Pengacara Publik LBH Bandung, Maulida Zahra menyatakan, transisi energi harus satu paket dengan memperhatikan transisi pekerja yang belum banyak dibicarakan. “Transisi energi yang dibutuhkan yang pasti harus memperhatikan keadilan untuk setiap entitas yang terlibat dalam prosesnya,” tegasnya. Terkait ketenagakerjaan, SALAM Institute dalam laporannya, mendorong adanya pemenuhan hak-hak normatif pekerja melalui revisi UU Cipta Kerja termasuk menjamin hak pekerja untuk berserikat dan terlibat dalam pengambilan keputusan transisi. Selain itu, mendorong adanya strategi konkret untuk alih daya dan transfer pekerja ke pasar pekerjaan hijau.
Baca Juga: Pensiun Dini PLTU Cirebon Butuh US$ 1,3 Miliar Pensiun Dini Dampak Bagi Ekonomi
Sejatinya, pemensiunan dini PLTU bisa menimbulkan implikasi ekonomi positif bagi masyarakat sekitar pembangkit. Dengan catatan, listrik fosil yang hilang, secara bersamaan diganti dengan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan. Hasil studi yang dilakukan Yayasan Indonesia CERAH dan Center of Economic and Law Studies (CELIOS) melakukan studi pemodelan dengan skenario pada pembangkit batubara yang rencananya akan dipensiunkan dini yakni Cirebon-1, PLTU Pelabuhan Ratu, dan PLTU Suralaya. Studi ini merupakan studi lanjutan dari laporan yang diluncurkan CERAH dan CELIOS pada Juli 2023. Dalam laporan sebelumnya, upaya mempercepat pensiun dini PLTU sering kali terhambat oleh kekhawatiran dampak negatif ekonomi yang mempengaruhi tenaga kerja, masyarakat lokal hingga hilangnya pendapatan sebagian pelaku usaha
Baca Juga: Menilik Realisasi Program Pensiun Dini PLTU di Tanah Air Bhima Yudhistira, Ekonom dan Direktur CELIOS, mengatakan dampak ekonomi dari penutupan PLTU batu bara sangat bergantung dari upaya mitigasi, kesiapan regulasi, dan komitmen mempercepat pembangkit energi terbarukan sebagai pengganti PLTU. “Studi yang kami lakukan menunjukkan bahwa skenario penutupan PLTU batu bara di tiga lokasi pembangkit bisa menurunkan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp3,96 triliun, menciptakan risiko pengurangan tenaga kerja hingga 14.022 orang, dan meningkatkan jumlah penduduk miskin 3.373 orang,” ujarnya di Jakarta, Kamis (25/1). Namun, dalam skenario kedua, jika penutupan PLTU batu bara dibarengi dengan pembangunan pembangkit energi terbarukan justru mampu menyumbang ekonomi Rp 82,6 triliun, menyerap 639.000 tenaga kerja hingga menurunkan kemiskinan 153.755 orang secara nasional. Berdasarkan rekomendasi studi, CELIOS mendesak negara maju yang terlibat dalam JETP, pemerintah hingga lembaga pembiayaan untuk memasukkan lebih banyak PLTU dalam pipeline pensiun dini, sekaligus mempercepat pembangunan transmisi dan pembangkit energi terbarukan secara paralel.
Baca Juga: Selain Pensiun Dini, Kementerian ESDM Minta Dana JETP Untuk Infrastruktur Listrik Pembenahan Kebijakan Pendanaan
Pemerintah Indonesia telah menerbitkan
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 103 tahun 2023 pada 13 Oktober 2023. Aturan ini dibuat khusus untuk memberikan dukungan fiskal melalui kerangka pendanaan dan pembiayaan dalam rangka percepatan transisi energi di sektor ketenagalistrikan. Berdasarkan penilaian
Climate Policy Implementation Check 2024 yang dilakukan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), PMK ini memberikan payung hukum untuk mendukung investasi pengembangan energi terbarukan dan percepatan pengakhiran dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara lewat Platform Transisi Energi yang dikelola oleh PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI). Aturan ini memungkinkan pendanaan platform transisi energi bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun sumber sah lainnya, seperti kerja sama pendanaan internasional. IESR mendorong pelaksanaan PMK 103/2023 yang lebih efektif dengan memperjelas tata kelolanya, mengedepankan transparansi dalam penentuan keputusan dan alokasi pembiayaan APBN untuk dukungan pendanaan platform ini. “Pembiayaan pengakhiran operasional PLTU batubara melalui APBN diharapkan dapat mencakup PLTU milik PLN,” ujar
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa. Baca Juga: Menilik Dampak Pemensiunan PLTU Cirebon-1 dan Pelabuhan Ratu ke Perekonomian Daerah Pelaksanaan pensiun PLTU juga perlu mempertimbangkan beberapa faktor penentu, misalnya usia PLTU yang mencapai sedikitnya 20 tahun atau telah melewati usia ekonomisnya, penggunaan teknologi PLTU batubara
subcritical yang menghasilkan emisi sangat tinggi dan dilakukan di sistem kelistrikan yang pasokan daya listriknya berlebih (
overcapacity). Selain itu, perlu pula diperhatikan dampaknya terhadap keamanan energi dan mekanisme pembiayaannya. Menurut Fabby, pendanaan dari APBN akan menutup kesenjangan pendanaan pengakhiran operasi PLTU lebih awal milik PLN dari luar negeri atau lembaga keuangan internasional karena sejumlah isu mengenai valuasi nilai PLTU tersebut. Menurutnya pendanaan dari APBN yang paling memungkinkan dalam kondisi ini. Fabby menambahkan, pengakhiran operasi PLTU milik PLN akan mengalihkan dana kompensasi tersebut ke kas PLN untuk memperkuat permodalan PLN melakukan investasi yang lebih besar pada pembangkit energi terbarukan dan transmisi kelistrikan.
Baca Juga: Peta Jalan Pensiun Dini PLTU Sedang Disusun Studi
Climate Policy Implementation Check IESR ini menyoroti terdapat tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan PMK No. 103/2023 untuk memastikan transisi energi yang adil dan berkelanjutan.
Pertama, diperlukan harmonisasi kebijakan lintas sektor untuk memastikan PMK ini sejalan dengan kebijakan terkait, seperti persyaratan tingkat komponen dalam negeri (TKDN), kewajiban pasar domestik (DMO) batubara, subsidi bahan bakar fosil, dan peraturan fiskal lainnya. Kedua, meningkatkan transparansi dan mekanisme pelaporan dan evaluasi kebijakan yang sejauh ini belum termuat dalam regulasi ini. Ketiga, PT SMI sebagai pengelola platform perlu memperkuat mandatnya untuk mengakses sumber daya keuangan yang lebih besar. Selain itu, platform ini perlu memiliki kerangka kerja yang jelas untuk mekanisme pemulihan biaya (cost recovery). Baca Juga: Tarif Listrik Terlalu Rendah, Investasi Pembangkit Hidro Jadi Terhambat Rencana Besar Pemerintah untuk Pembangkit Batubara
Sebelumnya sempat muncul kabar pensiun dini PLTU tidak lagi menjadi priroitas dalam transisi energi. Namun saat ini pemerintah kembali menyusun
roadmap pensiun dini PLTU dan dampaknya terhadap sistem ketenagalistrikan Tanah Air. Pensiun dini PLTU masih berpedoman pada regulasi yang ada yakni Peraturan Presiden (Perpres) 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Ada sebanyak 13 PLTU direncanakan akan dipensiunkan secara dini dengan mempertimbangkan keekonomian serta tidak menimbulkan gejolak kekurangan pasokan dan kenaikan harga listrik. Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana menyatakan, di dalam Perpres 112/2022 ada beberapa kriteria yang diatur untuk pensiun dini PLTU. “Misalnya saja umurnya, kemudian kinerjanya, efisiensinya, produktivitas. Jadi itu dilihat kita mendaftar dari umur, dari kinerja, dari emisinya semua, jadi kita udah ada daftarnya tuh yang 13 PLTU," ujarnya dalam keterangan resmi, Rabu (21/8/2024).
Baca Juga: Investasi EBTKE Indonesia di Tahun Ini Diproyeksi Capai Titik Terendah Sejak 2017 Pemerintah juga mengakui terus mencari dukungan untuk memensiunkan dini PLTU yang sesuai kriteria agar tidak menimbulkan gejolak seperti kenaikan biaya pokok penyediaan listrik (BPP) dan kekurangan pasokan listrik.
Namun, terkait dengan PLTU mana saja yang akan dipensiun dini, Dadan menjelaskan saat ini belum dapat dirinci. Hanya saja dalam pelaksanaannya tetap mengacu kepada Perpres dan pertimbangan keekonomian PLTU itu sendiri. Yang terang, sebanyak 13 PLTU dengan total kapasitas 4,8 GW seluruhnya milik PLN. Dirjen EBTKE, Eniya memberikan bocoran, ada beberapa pembangkit yang masuk ke dalam daftar itu. “Suralaya, Paiton, Ombilin di Sumatra itu termasuk di dalam 13 list itu,” jelasnya. Ketiga pembangkit yang masuk ke dalam daftar pensiun dini PLTU itu dinilai tidak memiliki gangguan masalah sosial, sehingga lebih mudah digarap. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati