HKTI: PP Gambut tidak relevan diterapkan



JAKARTA. Kebijakan pemerintah yang menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 tahun 2016 tentang perlindungan dan pemanfaatan ekosistem gambut menuai protes dari sejumlah kalangan. Pasalnya dalam pembentukan PP Ini, kalangan akademisi tidak dilibatkan.

Padahal untuk menerbitkan sebuah kebijakan, pemerintah harus terlebih dahulu melakukan studi ilmiah. Kajian ilmiah diperlukan agar PP tersebut tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat luas dalam pengimplementasiannya. 

Ketua Bidang Hasil Pengolahan Hasil Perkebunan Dewan Pimpinan HKTI Didik Hariyanto mengatakan, banyak aturan teknis dalam PP itu ditetapkan sepihak tanpa melibatkan akademisi dan lembaga profesi seperti Himpunan Gambut Indonesia (HGI). Akibatnya, PP tersebut menjadi tidak relevan karena tidak memiliki naskah akademis.


Didik menilai, ketentuan muka air 0,4 meter, serta pengembalian fungsi lahan gambut menjadi kawasan lindung yang tidak logis, akan mematikan usaha perkebunan rakyat.

Menurutnya, selama puluhan tahun masyarakat hidup dari perkebunan sawit di lahan gambut. "Bayangkan berapa banyak jiwa akan kehilangan mata pencaharian jika aturan itu diterapkan. Apalagi, pemerintah belum mempunyai solusi, jika perkebunan rakyat disetop," kata Didik.

“Kalau tetap dipaksakan, masyarakat perlu melakukan class action atau uji materi ke MK atas putusan sepihak tersebut,” imbuhnya.

Sementara itu, Peneliti Departemen Ilmu Tanah Dan Sumber Daya Lahan Institut Pertanian Bogor (IPB) Basuki Sumawinata mengatakan, ketentuan tinggi muka air 0,4 meter merupakan masalah lama yang sebenarnya tidak revelan lagi. “Aturan itu diusulkan tahun 2006 dengan catatan belum ada teknologi yang mumpuni. Kini, ketika tata kelola air bisa diimplementasikan, aturan itu tidak lagi relevan. Saya memahami aturan ini, karena sejak awal ikut ‘membidani’pembuatan draftnya,” paparnya.

Menurut Basuki, ketinggian muka air yang ideal dan lebih sesuai dengan kondisi lapangan adalah 0,8 m. Aturan ini bisa dipraktikkan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini