Hoki nan harum Tubagus Wijaya pengusaha parfum



KONTAN.CO.ID - Sebagai band yang tengah naik daun, 7Notes ketika itu banyak mendapat tawaran manggung di berbagai kota. Beda dengan kelompok musik lain yang biasanya membagikan stiker, topi, atau baju kepada para fans, band asal Bandung itu justru memberikan parfum ke penggemar mereka selama tur keliling kota.

Dan hebatnya, sang vokalis, R. Tubagus Wijaya, yang beken dengan panggilan Tebe, yang membuat sendiri minyak wangi tersebut. “Karena, kan, belum pernah ada yang bagi-bagi parfum dan kebetulan saya suka parfum,” katanya.

Siapa sangka, bermula dari produk gratis untuk penggemar 7Notes, kini Tebe bisa mengantongi omzet Rp 2 miliar dari bisnis parfum yang mengusung merek Parfum Gue. Dengan 60 karyawan, sekarang ia memproduksi ratusan ribu botol minyak wangi saban bulan.


Parfum bikin Tebe juga bukan parfum biasa. Soalnya, ia membuat parfum berdasarkan nama, golongan darah, dan jenis kelamin si pemesan.

“Saya tahu bahwa tiap orang punya kecenderungan dalam memilih barang. Misalnya, karakteristik tertentu lebih suka memilih mobil warna hitam, yang lainnya warna putih. Nah, konsep ini saya coba geser ke parfum,” ungkap pria kelahiran Bandung, 17 Agustus 1988, ini.

Tapi, sukses di bisnis parfum tidak Tebe dapatkan dengan cukup membalikkan telapak tangan. Awalnya memang pada 2012, dia mendapat pesanan dari pelawak yang juga anggota DPR Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio untuk membuat parfum yang unik. “Ini titik awal bisnis saya,” ujarnya.

Parfum pesanan Eko Patrio belum jadi, sudah masuk order lain dari band Da Vinci dan kelompok musik lainnya untuk membuat semacam parfum artis.

Tapi, “Saya kurang beruntung karena semua proyek itu gagal, meskipun mereka suka sama wangi parfum buatan saya,” sebut pemilik gelar diploma pemasaran dari Politeknik Pos Indonesia ini.

Meski begitu, ada pesanan yang datang dari Komando Production. Berikutnya dari perorangan.

Melihat pasar yang besar, Tebe mulai serius membesarkan bisnis parfum termasuk melakukan penelitian untuk terus menghasilkan produk sesuai nama, golongan darah, dan jenis kelamin si pemesan.

Rumah angker

Cuma, di tengah karier musiknya yang menanjak, 7Notes bubar di akhir 2012. Itu berarti, Tebe tak lagi punya penghasilan untuk membiayai usahanya.

Beruntung, sang produser yang kini duduk di kursi Presiden Direktur PT Parfum Gue Indonesia, Sovik Nur Kholis, memberi bantuan modal sebesar Rp 6 juta. “Itu saya pakai untuk beli bahan baku dan botol untuk wadah parfum,” katanya.

Saat merintis usaha parfum, dia dibantu Robby Permata Jiwa, gitaris 7Notes, yang sekarang menjabat direktur Parfum Gue. Awalnya, ia menjual produk yang masih bermerk Ikon Parfume lewat aplikasi percakapan BlackBerry Messenger (BBM). Tebe juga dapat bantuan promosi dari beberapa penyiar radio yang dia kenal sewaktu masih nge-band.

Ketika itu, ia belum memikirkan keuntungan, yang penting produknya laku dulu. Sebab, Tebe membutuhkan 1.000 pembeli yang berbeda untuk menguji parfum buatannya. “Jadi, sekalian riset karena ini buat modal saya untuk mematenkan parfum saya,” jelas dia.

Sebab itu tadi, Tebe memproduksi parfum nama, golongan darah, dan jenis kelamin si pemesan. Ini yang ia klaim yang pertama di Indonesia.

Temuan Tebe itu rupanya menarik perhatian Dudi yang bekerja di PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) Tbk. “Dia bilang, temuan saya ini harus dijadikan teknologi supaya makin maju. Karena, saya masih manuskrip,” terangnya.

Jadi, ia menjelaskan, kalau ada order, dirinya membuka manuskrip manual miliknya. Lalu, memakai rumus algoritme untuk meracik parfum sesuai nama, golongan darah, serta jenis kelamin si pemesan.

Akhirnya, Tebe pun setuju dengan tawaran Dudi. Hanya ketika itu, dia terang-terangan bahwa tidak punya biaya untuk membangun sistem teknologi informasi.

Tetapi, “Pak Dudi tetap mau bantu membuat teknologi yang diberi nama personal scent online aplication secara gratis,” imbuh dia, yang menolak mengungkap nilai investasinya. Yang jelas, ia menyebutkan, angkanya gede.

Toh, Tebe tidak mau menerima pemberian itu secara cuma-cuma. Sebagai gantinya, dia memberi royalti ke Dudi hingga sekarang. Tapi, teknologi itu ia daftarkan atas namanya.

“Ternyata, sedunia, tuh, hanya saya. Jadi, saya merasa beruntung banget. Bahkan, produsen parfum dari Perancis tahun 2017 kemarin datang ke lab saya di Bandung,” ungkap Tebe.

Sejak menggunakan teknologi itu di 2013, Tebe mulai mengibarkan merek dagang Parfum Gue. “Karena gue banget. Saya buat parfum berdasar nama, golongan darah, dan jenis kelamin si pemesan,” jelasnya.

Dengan uang hasil penjualan plus pinjaman, dia menyewa sebuah rumah di daerah Lengkong, Bandung, untuk bengkel produksi. Ada kisah menarik. Ia menuturkan, ternyata rumah yang dirinya sewa angker.

Tapi, selama menghuni rumah tersebut, bisnisnya melejit. “Percaya enggak percaya, kenalan saya, pengusaha dari Bali, saat ke rumah kontrakan saya, dia bilang, untuk meneruskan usaha di rumah itu. Soalnya, dia pernah beli gudang yang angker sekali di Bali, eh, bisnisnya juga melejit,” ungkap Tebe.

Namun, ia hanya mengontrak di rumah tersebut selama satu tahun, hingga 2015, lantaran sang pemilik ingin menjualnya. Sejatinya, Tebe mau membeli rumah itu tapi pemiliknya menginginkan pembelian secara tunai tidak boleh dicicil.

“Saya cuma punya duit Rp 400 juta, dia menjual Rp 1,2 miliar. Mau saya bayar bertahap, dia enggak mau,” sebutnya.

Semi properti

Usaha parfumnya berkembang pesat tak lepas dari konsep pemasaran yang dia beri nama semi properti. Sebelumnya, ia melebarkan sayap bisnisnya dengan sistem kemitraan tapi tidak begitu sukses.

Tebe mulai menjalani konsep semi properti awal 2014. Dia menjelaskan, dengan konsep semi properti, calon mitra harus membeli kaveling wilayah bisnis. Pilihannya: Kavling Agen, Kavling Distributor, Kavling PPG, dan Kavling LPPG.

Untuk Kavling Distributor, harganya mulai Rp 50 juta. Mitra bakal mendapatkan antara lain sertifikat kaveling, website yang terintegrasi dengan Facebook, serta Pelatihan Facebook Ads dan digital marketing. “Saat ini saya sudah punya 32 distributor,” imbuhnya.

Dengan begitu, Tebe enggak menjual langsung produknya ke konsumen akhir tapi melalui distributor. Nanti, distributor yang akan meneruskan ke agen. Dari agen lanjut ke reseller sebelum sampai pembeli.

Sedang Kavling LPPG yang kependekan dari Laboratorium Produksi Parfum Gue adalah, suatu badan usaha di bawah naungan Parfum Gue yang bisa memproduksi parfum. Mitra akan memperoleh bagian sebesar 60% dari omzet sebulan. Total investasi di luar tempat mencapai Rp 610 juta.

Setelah hanya memasarkan secara online, tahun ini Tebe masuk ke kanal offline. Itu bermula dari tawaran Gramedia untuk membuka stan di gerai mereka. “Sebetulnya, enggak ada di agenda untuk buka offline store, karena kami ingin fokus di online,” kata dia.

Meski harus merogoh kocek untuk membeli peralatan produksi baru untuk ditempatkan di Gramedia, Tebe akhirnya menerima tawaran tersebut. Pada Mei lalu, ia membuka toko pertama di Gramedia Central Park.

“Tawaran ini menarik, kapan lagi Gramedia menawarkan ke kami. Ini membuat branding kami bisa naik, trust juga naik,” tambahnya.

Penjualan yang bagus, sekitar Rp 2 juta per hari, membuat Gramedia kembali menawarkan kerjasama untuk membuka stan di Bandung, Surabaya, dan Bali.

“Saya masih hitung-hitungan investasi dulu. Satu outlet, investasinya Rp 200 jutaan,” ujar dia. Tapi, Tebe menambahkan, rencananya ia membuka tiga toko lagi akhir tahun ini.

Rencana berikutnya adalah memperkuat saluran pemasaran online. Untuk itu, ia membeli Avana, startup asal Malaysia yang memiliki platform e-commerce lewat media sosial untuk penjual online.

Lalu, membuat mata uang virtual bernama PTC. Tebe akan mendirikan startup untuk mengelolanya. “Kelak, distributor, agen, dan reseller kalau membeli parfum pakai PTC. Beli dulu PTC yang nanti jadi saldo mereka,” jelasnya.

Hanya, Tebe menambahkan, usaha parfumnya bisa berkembang seperti sekarang lantaran ia punya prinsip bisnis. Yakni, respek adalah kunci mengelola bisnis dan kepercayaan tingkatan tertinggi dari respek.

Siapa mau meniru?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: S.S. Kurniawan