KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) harus bekerja lebih ekstra lagi di tahun ini. Selain mesti mengejar target penerimaan pajak yang selangit, otoritas pajak juga dihadapkan pada pekerjaan rumah yang cukup berat: menahan agar dana repatriasi hasil program pengampunan pajak alias tax amnesty tetap betah tinggal di dalam negeri. Pasalnya, masa tahan atau holding period dana repatriasi periode pertama, kedua dan ketiga segera berakhir dalam waktu dekat. Bahkan, holding period dana repatriasi periode pertama dan kedua sudah lebih dulu berakhir pada 31 Desember 2019. Sementara holding period dana repatriasi periode ketiga akan berakhir pada Maret mendatang. Dengan berakhirnya holding period, maka Wajib Pajak (WP) yang ikut berpartisipasi menggelontorkan dana repatriasi bebas menentukan pilihan apakah tetap menginvestasikan uangnya di dalam negeri, atau kembali melepasnya ke luar negeri.
Skema holding period tersebut diatur dalam Peraturan MenteriKeuangan (PMK) No.141/PMK.03/2016 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.16/2016 tentang Pengampunan Pajak. Beleid tersebut mengatur, masa tahan dana repatriasi ditetapkan tiga tahun yang dihitung sejak wajib pajak menempatkan harta tambahannya di cabang bank persepsi yang ditunjuk pemerintah dalam rangka tax amnesty untuk menampung repatriasi. Selama masa tahan, dana repatriasi wajib diinvestasikan di dalam negeri. Investasi yang dimaksud bisa dalam instrumen keuangan, seperti deposito, saham atau obligasi, maupun investasi langsung di sektor riil. Berdasarkan data DJP, realisasi repatriasi pada periode tax amnesty jilid pertama dan kedua sebesar Rp 140,5 triliun. Jumlah tersebut setara 95,7% dari total nilai repatriasi yang mencapai Rp 146,7 triliun. Dengan perincian, total komposisi harta yang dilaporkan pada tax amnesty periode pertama adalah Rp 3.667,68 triliun. Terdiri dari deklarasi dalam negeri Rp 2.609,68 triliun, deklarasi luar negeri Rp 927,99 triliun, dan repatriasi Rp sebesar 130 triliun. Kemudian pada periode kedua, pelaporan TA menurun drastis menjadi Rp 628,58 triliun. Terdiri dari deklarasi dalam negeri Rp 533,45 triliun, deklarasi luar negeri Rp 84,63 triliun, dan repatriasi Rp 10,5 triliun. Dari dua periode awal, total dana repatriasi yang masuk adalah Rp 140,5 triliun. Jadi sampai Desember 2019, kira-kira inilah potensi dana yang bisa menjadi capital outflows karena berakhirnya holding period tax amnesty. Kekhawatiran itu cukup beralasan mengingat geliat investasi masih dalam tren menurun sepanjang tahun ini, terlebih ketidakpastian ekonomi masih abu-abu bagi para investor. Bahkan, Bank Dunia dalam laporan berjudul Global Economic Risks and Implications for Indonesia sempat menyampaikan bahwa potensi capital outflow di Indonesia semakin besar di tengah perang dagang yang terus berlanjut antara AS dan China. Menurut Bank Dunia, perang dagang bisa memicu aksi jual dan penarikan dana dari emerging market. Peringantan tersebut bukan isapan jempol. Bank Indonesia (BI) sempat melaporkan terjadinya capital outflow cukup besar di November 2019. Hanya dalam sepekan hingga 21 November 2019 terjadi capital outflow sebesar Rp 1,9 triliun. Ekonom Institute for Developments of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, tekanan global masih akan menimbulkan ketidakpastian di pasar finansial negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Kondisi itu turut mempengaruhi kepercayaan investor portofolio di negara berkembang. Dalam kondisi itu, terbuka peluang dana repatriasi lari ke luar negeri. “Terlebih situasi global semakin tidak menentu menyusul ketegangan Amerika dan Iran, semua itu akan menambah kekhawatiran terhadap volatilitas di pasar uang,” ujarnya. Peluang dana tersebut lari keluar juga terbuka karena belum semua negara terlibat perjanjian pertukaran informasi perpajakan AEoI dengan Indonesia. Sehingga, ada peluang mereka membawa lagi dananya ke negara yang sistem pajaknya masih lemah. “Pada dasarnya, investor akan mencari tempat yang menawarkan keunggulan paling tinggi,” ujar Bhima. Berbeda dengan Bhima, Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak DJP, Yon Arsal menampik kekhawatiran hengkangnya dana repatriasi. “Kami meyakini berakhirnya holding period repatriasi tak ada pengaruh dana keluar,” kata dia Namun, apa yang disebutnya itu masih bersifat asumsi. Pasalnya, DJP baru mendapat laporan data mengenai pergerakan dana repatriasi per November 2019 atau sebelum berakhirnya holding period TA gelombang kedua. Ia mengklaim, dari data November itu belum ada pergerakan yang mengkhawatirkan mengenai keluarnya dana repatriasi ke luar negeri. “Jadi per November 2019 itu tidak ada perubahan yang signifikan dalam pergerakan dana repatriasi,” ujarnya. Senada, Lucky Alfirman, Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (PRR) Kemkeu menyebut, bahwa sejauh ini dana repatriasi masih parkir di dalam negeri. Paling tidak per November belum ada pergerakan yang signifikan. “Kami belum mendeteksi adanya gerakan yang signifikan dana repatriasi ditarik lagi keluar,” ujarnya. Masih menarik Hestu Yoga, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP menyatakan, sampai saat ini pihaknya masih menunggu laporan dari bank persepsi, manajer investasi dan pedagang efek untuk mengetahui posisi dana repatriasi menyusul berakhirnya holding period gelombang dua yang jatuh pada Desember lalu. Namun, Hestu juga berkeyakinan tidak akan terjadi arus keluar dana repatriasi. Menurutnya, ada beberapa faktor yang bisa mendorong dana tetap parkir di dalam negeri. Salah satunya imbal hasil investasi portofolio yang masih menjanjikan. “Imbal hasil kita sekarang bisa dibilang paling tinggi dibanding negara lain,” jelasnya. Kondisi pasar finansial juga cukup kondusif yang ditandai dari stabilitas kurs rupiah dan tingginya net capital inflow sepanjang tahun lalu. Terbukti, ujar Hestu, posisi cadangan devisa (cadev) Desember 2019 tercatat sebesar US$ 129,2 miliar. Angka itu meningkat dibandingkan akhir November 2019 yang sebesar US$ 126,6 miliar. “Itu menunjukkan kondisi ekonomi dan iklim investasi kita cukup baik untuk menahan dana repatriasi,” ujar Hestu. Maka itu, ia optimistis, dana repatriasi yang didapat dari program pengampunan pajak tidak dibawa kabur lagi dari Indonesia. Meski demikian, ujar dia, pemerintah tetap berupaya agar dana repatriasi bisa masuk lebih banyak lagi ke sektor riil. Selama ini, mayoritas dana masuk ke sektor portofolio. Untuk itu, pemerintah terus memperbaiki sistem investasi di Indonesia. Antara lain dengan perbaikan berbagai kebijakan dan percepatan perizinan, guna membenahi iklim investasi supaya lebih baik. Selain itu, berbagai skema insentif fiskal untuk mendukung iklim investasi juga terus digulirkan. Antara lain lewat skema tax holiday, program percepatan restitusi pajak dan beragam insentif pajak lainnya. Dalam skema tax holiday, misalnya, pemerintah memperluas cakupan industri pionir yang mendapat fasilitas tax holiday dari 9 industri pionir menjadi 18 industri pionir. Percepatan restitusi juga dilakukan untuk mendukung investasi dan pembiayaan usaha di sektor swasta. Di sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), pemerintah telah memangkas tarif PPh Final UMKM menjadi 0,5%. Selain itu, ada juga pengurangan pajak penghasilan (PPh) badan melalui investment allowance untuk industri padat karya. Masih di sektor padat karya, ada juga fasilitas super deduction tax yang bisa dimanfaatkan pengusaha. Nah, diharapkan, lewat berbagai fasilitas itu dana repatriasi tidak hengkang keluar kendati holding period telah berakhir. “Yang sebatas bisa dilakukan hanya itu karena DJP tidak memiliki instrumen untuk memaksa dana repatriasi tetap stay di dalam negeri,” ujar Hestu. Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Tax Center Ajib Hamdani bilang, selama ini dana repatriasi telah diinvestasikan baik di sektor riil maupun portofolio. “Dana repatriasi ada yang sudah ditanam dalam bentuk investasi di perusahaan. Tapi ada juga yang masih portofolio, seperti di saham dan obligasi,” ujarnya. Menurutnya, prospek ekonomi Indonesia akan sangat menentukan langkah wajib pajak yang selama ini menempatkan dana repatriasi terutama dalam instrumen investasi portofolio. Bawono Kristiaji, Kepala DDTC Fiscal Research mengatakan, besar kemungkinan dana repatriasi tetap akan ngendon di dalam negeri selama imbal hasil investasi portofolio masih tinggi. “Tentu hal itu sangat dipengaruhi iklim investasi dan ekonomi domestik,” katanya. Hanya, supaya lebih produktif pemerintah juga perlu mendorong dana tersebut diinvestasikan ke sektor riil. Sehinga, lebih efektif dalam menggerakkan perekonomian Indonesia. Kepala Ekonom Center of Reform Economics (CORE), Piter Abdullah juga punya pandangan sama. Menurutnya, tetap terbuka peluang dana repatriasi bertahan di Indonesia.
Sebab, dana tersebut milik pengusaha lokal yang sudah sangat paham risiko investasi di dalam negeri. Di sisi lain, imbal hasil portofolio di Indonesia juga masih relatif tinggi. Misalnya sepanjang tahun 2019, instrumen obligasi korporasi memberikan imbal hasil 14,01%, sementara obligasi pemerintah 13,9%. Memprediksi tahun depan, menurutnya, iklim investasi domestik akan membaik, apalagi pemerintah tengah melakukan beragam upaya. Salah satunya dengan menerbitkan Omnibus Law. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Havid Vebri