KONTAN.CO.ID - Rumahtangga merupakan pelaku ekonomi terkecil. Meski begitu, rumahtangga adalah pelaku ekonomi terpenting lantaran semua kegiatan ekonomi berawal dari keluarga. Mulai kegiatan produksi, distribusi, hingga konsumsi, tentu melibatkan satu atau beberapa anggota keluarga. Dengan peran penting dari rumahtangga itu, Munsi Liano bersama Mahendra, dan Derry Indrawan mencoba memberdayakan banyak keluarga lewat perusahaan rintisan (
start-up) yang mereka bangun, yakni Homade. Ketiganya mengajak keluarga untuk berkreasi membuat masakan rumahan.
Mahendara,
Co-Founder Homade, bilang, perusahaan rintisannya bakal melakukan transformasi makanan buatan rumahtangga jadi produk dengan standar industri. “Di sinilah peran Homade,” kata Mahendra yang juga
Chief Technology Officer (CTO) Homade. Yang juga menginspirasi pendirian
start-up ini, Derry,
Co-Founder Homade lain menambahkan, susahnya mencari makanan murah yang sehat. Seringkali, pedagang kaki lima memakai bahan baku yang tak layak plus sudah lama. Di sisi lain, banyak ibu rumahtangga yang punya keahlian memasak tapi tidak punya modal untuk memulai usaha kuliner. Munsi, Mahendra, dan Derry pun membesut platform digital yang tidak hanya menyediakan makanan sehat lagi murah, juga ikut membantu perekonomian keluarga. Homade lantas meluncurkan platform tersebut pada 4 Juni 2017 lalu sebagai
marketplace masakan rumahan. Namun, “Seiring perjalanan waktu, kami tidak melihat transaksi yang cukup signifikan karena masalah
quality control (pengendalian mutu) dan ketidakpercayaan konsumen terhadap makanan tersebut,” ungkap Munsi,
Founder sekaligus
Chief Executive Officer (CEO) Homade. Perubahan model Berangkat dari masalah itu, awal Agustus lalu, Munsi dan tim kemudian melakukan perubahan atas bisnis model Homade, dengan tiga cara:
Pertama, Homade mengadakan seleksi terhadap
home chef berdasarkan kepribadian, keahlian pengolahan makanan, rasa, kondisi higienis dapur.
Kedua, Homade menyelenggarakan uji kualitas makanan dengan indra peraba, seperti aroma, rasa, bentuk, dan warna. Lalu, mengambil sampel makanan itu dan menyimpannya di refrigerator. Jika terjadi sesuatu, mereka akan mengirim makanan tersebut ke lab.
Ketiga, Homade melakukan
food assembly dari masakan para
home chef untuk mengemas makanan tersebut sesuai standar kualitas tinggi. “Setelah melakukan
pivot bisnis model, transaksi kami pun naik secara drastis, walau baru beroperasi beberapa bulan. Sebab, kami mendapatkan kepercayaan dari pelanggan,” ujar Munsi. Pertumbuhan penjualan Homade melonjak 50% selama November lalu dibandingkan dengan Oktober. Saat ini, Homade bisa menjual rata-rata 300 hingga 400 boks per hari untuk cabang atau
food assembly di Jakarta. Sedang cabang di Pekalongan, Jawa Tengah, lantaran baru buka dua minggu, pesanan yang masuk total hanya 1.000 boks selama dua pekan beroperasi. Homade baru membuka
food assembly di dua kota: Jakarta dan Pekalongan. Targetnya, di 2020 mendatang, mereka bisa mendirikan cabang di 30 kota di Indonesia. “Sebentar lagi kami buka di Bandung dan Tangerang. Kami juga menawarkan kerjasama, baik dengan personal atau korporasi, untuk
food assembly,” ucap Munsi. Info saja, sebelum diantar ke pelanggan, semua masakan dari para
home chef masuk ke
food assembly. Di tempat ini, makanan akan dikemas baru dikirim ke pemesan. “Untuk saat ini, kami masih melakukan pengantaran sendiri. Kerjasama dengan jasa pengiriman sedang dalam proses,” kata Munsi. Untuk pengantaran makanan, Munsi menjelaskan, ada yang jaraknya sampai 20–30 kilometer dari lokasi
food assembly yang ada di daerah Jatiwarna. Alhasil, biaya pengiriman yang ditanggung Homade cukup tinggi. “Maka dari itu, kami mempercepat ekspansi
food assembly, karena ini salah satu cara untuk memperkecil biaya distribusi,” tutur Munsi. Homade baru memiliki 20
home chef. Tapi, jumlah itu hasil saringan dari 400 koki yang mendaftar untuk wilayah Jakarta. Sementara untuk Pekalongan, ada 12
home chef. Bermitra dengan para
home chef, Homade juga bermaksud untuk menetapkan standar baru dalam industri makanan. Kalau tertarik jadi
home chef Homade, Munsi mengungkapkan, ada beberapa syarat yang harus pendaftar penuhi.
Pertama, mempunyai kepribadian yang baik dan jiwa artisan dalam memasak.
Kedua, memiliki keahlian memproses makanan dan memasak.
Ketiga, tidak menggunakan MSG dan penyedap instan.
Keempat, punya dapur higienis. Terakhir atau
kelima, tidak memelihara anjing dan kucing di rumah. Kemudian, masing-masing
home chef harus menyerahkan lima masakan andalan ke Homade. Kelak, Homade akan mengatur makanan andalan itu, kapan bisa dipesan oleh konsumen. “Jadi, kami bisa punya ratusan menu. Dan kami pastikan, dalam setahun tidak ada menu terulang,” tegas Munsi. Sekarang, Homade masih menawarkan aneka masakan khas Indonesia. Cuma, mulai 1 Desember nanti, mereka bakal menyajikan beragam makanan ala barat (
western). Setiap hari, para
home chef memasak sesuai menu yang sudah Homade tetapkan dan jumlahnya sesuai pesanan konsumen. Koki mesti mematuhi standar porsi makanan. Misalnya, nasi harus seberat 200 gram, ada satu jenis lauk, sayur, kerupuk juga sambal. Homade menerapkan sistem bagi hasil. Munsi menyebutkan, para
home chef bisa mengantongi pendapatan sebesar Rp 10.000–Rp 12.000 per boks. Harga jual satu boks sendiri Rp 20.000 untuk wilayah Jakarta dan Rp 15.000 di daerah Pekalongan. Harga jual di kota batik ini lebih murah lantaran bahan bakunya murah. Modal tambahan Bagi yang ingin memesan, Munsi menjelaskan, bisa melalui aplikasi Homade yang dapat diunduh di PlayStore dan AppStore. Untuk pemesanan, harus dua hari sebelumnya atau paling lambat sehari sebelumnya sebelum jam 13.00. Konsumen yang jadi pelanggan Homade kebanyakan berasal dari perusahaan. Dalam sehari, satu perusahaan bisa memesan sekitar 50 porsi. “Kalau perusahaan, biasanya pesan langsung sebulan. Dan, kami berikan menu yang kami punya dan mereka yang mengatur sesuai keinginan mereka setiap harinya,” tambah Munsi. Dalam membangun Homade, Munsi membeberkan, modalnya masih bersifat swasembada. Sayang, pria yang masih bekerja di Freeport-McMoRan ini tak mau mengungkap nilainya. “Yang membedakan kami dari kompetitor,
start-up kami
low investment,” kata Munsi. Nilai investasinya bisa rendah lantaran untuk membangun
food assembly, Munsi mengungkapkan, Homade menggandeng pihak lain. Sistem pembagian hasilnya: 20% untuk Homade, 40% buat pemilik tempat, dan 40% untuk penyedia alat di
food assembly, seperti kulkas serta boks makanan. Tetapi baru-baru ini, persisnya Oktober lalu, Homade berhasil menggondol juara ketiga di Startup Istanbul 2017. Di kompetisi ini berkumpul perusahaan pemula, internet terkemuka, investor malaikat, juga pemodal ventura dari Asia dan Eropa. Dari ajang ini, permodalan Homade sedikit cerah.
“Setelah kemenangan sebagai juara ketiga di Startup Istanbul 2017, kami mendapatkan penawaran dari 14 pemodal manca negara yang saat ini sedang kami pelajari,” ujar Munsi. Harapannya, dengan tambahan modal itu, Homade bisa segera ekspansi. Mulai membuka
food assembly, promosi, serta pelatihan
chef di Jakarta dan kota-kota di Indonesia. Rumahtangga bisa terus jadi pelaku ekonomi terpenting Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: S.S. Kurniawan