Hotman Paris bantah ajukan diri lawan Churchill



JAKARTA. Pengacara Hotman Paris Hutapea mengklarifikasi perihal pemberitaan menyangkut pengajuan dirinya mewakili pemerintah Indonesia melawan Churchill Mining Plc di Badan Arbitrase Internasional Centre for Settlement of Investment Dispute (ICSID).

Menyusul putusan sela ICSID yang memenangkan Churchill atas sengketa tumpang tindih izin tambang di Kalimantan Timur. "Kami tidak pernah mengajukan diri atau meminta agar menjadi pengacara pemerintah Indonesia di forum arbitrase," kata Hotman di Jakarta, Jumat (28/2).

Hotman menegaskan, pihaknya sebatas menyarankan supaya pemerintah Indonesia menunjukkan pengacara top internasional . "Salah satunya Mr Davinder Singh yang sering menangani perkara arbitrase Internasional," katanya.


Pasalnya, melalui putusan sela ICSID yang jatuh pada Senin (24/2), Churchill punya peluang untuk menuntut ganti rugi ke pemerintah Indonesia mencapai sekitar Rp 20 triliun. "Hati-hati uang rakyat dipertaruhkan," ujarnya.

Terlepas itu, Hotman juga mensinyalir adanya tekanan supaya pemerintah Indonesia menawarkan ganti rugi perdamaian di luar persidangan. Pihaknya meminta supaya pemerintah tidak terpengaruh dan menolak setiap lobi ke arah perdamaian karena posisi hukum Indonesia sangat kuat. "Jadi yang perlu diperhatikan menambah tim kuasa hukum dari pengacara internasional," jelasnya.

Sebelumnya, ICSID menyatakan: menolak keberatan Pemerintah Indonesia atas gugatan perusahaan tambang asal Inggris, yang merasa dirugikan oleh kebijakan pemerintah Indonesia, melalui mekanisme arbitrase. Arbrital tribunal Gabrielle Kaufmann-Kohler, Michael Hwang S.C, dan Albert Jan van den Berg membuat keputusan tersebut Senin lalu (24/2).

Sengketa ini berawal dari pencabutan empat izin usaha pertambangan (IUP) milik Ridlatama yang sahamnya dimiliki Churchill, oleh Bupati Kutai Timur, Isran Noor. Pertimbangan bupati, berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada pemeriksaan tahun 2006-2008, ada indikasi bahwa empat izin tersebut palsu.

Selain itu, empat konsesi eksplorasi tambang yang digarap Churchill tersebut juga berada di atas hutan produksi, sehingga harus ada izin dari Menteri Kehutanan. Nah, Menteri Kehutanan, ternyata, tidak pernah mengeluarkan izin tersebut. Jadi, tidak ada aturan yang dilanggar dalam pencabutan izin tersebut.

Tidak terima akan keputusan itu, Churchill menempuh upaya hukum ke pengadilan tata usaha negara (PTUN). Namun, langkah mereka kandas sampai di tingkat Mahkamah Agung. Tak puas, Churchill membawa kasus ini ke ICSID Singapura pada 22 Mei 2012.

Tim hukum pemerintah Indonesia di kasus ini di bawah koordinasi Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsuddin. Menteri koordinator Perekonomian Hatta Rajasa berharap pemerintah Indonesia menang. Jika kalah, bakal mempengaruhi iklim investasi di tanah air.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Asnil Amri