KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hotman Paris Hutapea, kuasa hukum PT BFI Finance Indonesia Tbk akhirnya buka suara terkait gugatan baru yang dilayangkan oleh PT Aryaputra Teguharta di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Menurutnya, gugatan yang dilakukan oleh pihak APT tersebut tidak memiliki kebaruan dan hanya mengulang-ulang terus tanpa dasar yang jelas. Apalagi, kata Hotman, sudah tujuh kali APT melayangkan gugatan di pengadilan negeri dan hasilnya tetap sama, yakni gugatan yang diajukan APT tidak dikabulkan oleh majelis hakim.
“Dulu kan sudah ditolak tujuh kali oleh pengadilan, sama saja. Ngapain lagi dia gugat,” kata Hotman usai menjalani persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Senin (1/10). Bahkan PN Jakarta Pusat, lanjut Hotman, juga sudah mengeluarkan penetapan pada 20 Februari 2018 lalu yang menyatakan bahwa Putusan Mahkamah Agung RI No. 240/PK/Pdt/2006 tidak dapat dilaksanakan atau
non executable. Seperti diketahui, APT mendaftarkan gugatan terkait dwangsom di PN Jakarta Pusat dengan Nomor Registrasi Perkara: 521/PDT.G/2018/PN.JKT.PST tertanggal 19 September 2018. Dalam gugatannya itu, APT melalui kuasa hukumnya Hutabarat Halim & Rekan, menggugat BFI Finance membayar uang paksa (dwangsom) sebesar lebih dari Rp 80 miliar karena dinilai tidak mengembalikan 32,32% saham BFI yang diklaim milik APT. Menurut Hotman sengketa yang berlarut-larut ini sebenarnya tidak perlu terjadi jika APT membayar utangnya kepada BFI Finance senilai US$ 100 juta pada tahun 2001 lalu. Karena tidak ada niat pengembalian utang itulah maka saham BFI milik APT yang dijaminkan akhirnya dijual. Lintong Oloan Siahaan, mantan hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) saat dihadirkan menjadi saksi ahli di PTUN Jakarta pada Senin (1/10) mengatakan bahwa putusan PK MA tersebut bisa saja diputuskan
non executable oleh pengadilan negeri jika memang putusan tersebut tidak bisa dieksekusi. “Tidak semua putusan yang sudah inkrach itu bisa dieksekusi, atau dilaksanakan. Pada pelaksanaanya waktu dia mau melaksanakan eksekusi tapi tidak bisa dilaksanakan, maka pengadilan akan mengeluarkan non executable, dan itu berlaku,” kata Lintong.
Lintong juga mengatakan, sejatinya persidangan di PTUN Jakarta yang saat ini tengah berjalan tidak perlu terjadi. Sebab berdasarkan Pasal 55 PTUN menyatakan bahwa gugatan Tata Usaha Negara harus diajukan dalam jangka waktu 90 hari. Sementara APT mengajukan gugatan terkait adanya perubahan akta perusahaan dan nama di PT BFI Finance Indonesia Tbk baru pada Mei 2018, atau jauh setelah perubahannya akta dan nama perusahaan dilakukan pada tahun 2002. “Pemberian batas waktu maksimal 90 hari itu tujuannya untuk memberikan kepastian hukum,” ujar Lintong. Ia juga mengatakan, bahwa lembaga peradilan memiliki kompetensi yang berbeda-beda. Dengan demikian pelaksanaan suatu eksekusi tidak bisa dilaksanakan dan tidak bisa ditafsirkan oleh PTUN. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .