KONTAN.CO.ID - SINGAPURA. Dari selebritas hingga kalangan pemerintah, kecaman dari negara Barat telah dilimpahkan pada Brunei Darussalam karena memberlakukan undang-undang anti-gay yang keras termasuk menetapkan hukuman mati lewat hukum rajam. Tetapi negara kecil nan kaya minyak tersebut hanya menunjukkan sedikit kekhawatiran akan munculnya permusuhan dengan sejumlah negara yang selama ini menjadi mitra tradisionalnya. Dilansir dari
South China Morning Post, sejumlah pihak mengatakan amat kecil kemungkinan bagi Brunei untuk sepenuhnya mengasingkan hubungan dengan negara Barat. Meskipun penerapan hukum syariah yang keras dapat mendatangkan serangan balik dari para pemimpin dunia.
Namun Sultan Hassanal Bolkiah yang juga salah satu orang terkaya di dunia, memiliki rekam jejak dialog yang seimbang dengan negara Barat seperti Inggris dan Amerika Serikat maupun dengan China. “Brunei telah mempraktikkan diplomasi lindung nilai dalam kebijakan luar negerinya,” kata Mustafa Izzuddin, seorang partner di ISEAS-Yusof Ishak Institute Singapura. "Namun, semakin besar kritik dari negara-negara Barat termasuk dengan melakukan boikot, semakin memperbesar kemungkinan Brunei akan beralih ke Asia dan khususnya, China yang secara cerdik telah menghindari urusan dalam negeri Brunei," lanjutnya. Beijing telah mengembangkan minat yang besar terhadap Brunei. Sebagian disebabkan kemungkinan kesepakatan pembangunan bersama di zona ekonomi eksklusif-nya (ZEE), yang dapat memberikan pijakan utama ke perairan Laut China Selatan yang sedang dipersengketakan. Mustafa bilang Brunei memang salah satu pihak yang ikut bersengketa di perairan tersebut. Tetapi pendekatannya yang tidak tegas telah membuat negara ini menarik di mata China. Joseph Liow pengajar di S Rajaratnam School of International Studies menambahkan meski Beijing belum mengusulkan rencana konkret, upaya serupa untuk menjalin kesepakatan dengan negara yang bersengketa di Laut China Selatan lainnya menunjukkan bahwa China bisa menawarkan prospek pengembangan bersama kepada Brunei.
Tetapi jika perjanjian bersama ditandatangani, Gregory Poling , Direktur Asia Maritime Transparency Initiative bilang hal itu bisa memberi masalah bagi negara Asia Tenggara lainnya maupun masyarakat internasional karena akan melemahkan peraturan internasional tahun 2016 yang mengatakan China tidak memiliki klaim atas perairan tersebut. Di luar itu, hubungan antara kedua negara terus tumbuh. Salah satu faktornya karena Brunei berupaya mendiversifikasikan aliran pendapatannya yang secara tradisional bergantung pada cadangan minyak. Di mana cadangan tersebut diperkirakan akan habis dalam dua hingga tiga dekade. Di sisi lain, angka pengangguran Brunei pun memeras otak pemerintah karena kini sudah mencapai angka 9,3%. Sebagian besar kesepakatan infrastruktur berskala besar di Brunei juga dibiayai oleh China di bawah rencana Koridor Ekonomi Brunei-Guangxi. Beijing sejauh ini telah mengalokasikan dana sebesar US$ 4 miliar ke dalam perekonomian Brunei dan menjanjikan dana lanjutan sebesar US$ 12 miliar lebih untuk kilang minyak dan gas.
Editor: Tendi Mahadi