IA-CEPA ditargetkan implementasi bulan Juli, industri harus belajar pasar Australia



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perjanjian kerja sama ekonomi komprehensif Indonesia dan Australia (IA-CEPA) ditargetkan mulai implementasi bulan Juli 2020.

Pemerintah saat ini tengah membuat notifikasi untuk memulai hal itu. Oleh karena itu selama masa dua bulan seluruh kebijakan yang menghambat hubungan ekonomi kedua negara yang diatur dalam IA-CEPA harus diperbaiki.

Baca Juga: Bakal efektif di tahun ini, IA-CEPA bisa dorong ekonomi di tengah pandemi


Tidak hanya pemerintah yang memperbaiki kebijakan. Industri juga dinilai harus bersiap memahami kebutuhan Australia untuk merespon IA-CEPA. "Kami harap semua jenis industri bisa mempersiapkan diri mempelajari dan memenuhi standar pasar Australia," ujar Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) bidang hubungan internasional Shinta Widjaja Kamdani saat dihubungi kontan.co.id, Minggu (10/5).

Shinta bilang seluruh industri Indonesia bisa memanfaatkan perjanjian tersebut. Pasalnya Australia menghapus seluruh tarif produk Indonesia ke Australia. Tidak hanya untuk ekspor, untuk industri dalam negeri pun dapat memanfaatkan impor bahan baku dari Australia. Tarif yang dihilangkan akan membuat harga produk lebih rendah yang berpengaruh pada harga produk jadi.

"Namun, kami memperkirakan industri yang akan paling banyak dibantu oleh perjanjian ini dalam waktu dekat adalah industri yang sudah mengekspor atau sudah menciptakan supply chain dengan Australia, misalnya industri panel kayu, plastik, herbisida/pestisida, kertas, atau industri otomotif yang diberikan better deal oleh Australia untuk ekspor electric cars," terang Shinta.

Baca Juga: Manfaatkan IA-CEPA, para pebisnis diharapkan lebih mempersiapkan diri lebih baik

Shinta masih belum bisa memprediksi apakah IA-CEPA dapat mendorong pemulihan ekonomi pasca pandemi virus corona (Covid-19). Tetapi di tengah pandemi kesiapan industri dari kedua negara berpengaruh pada penanganan wabah.

Penanganan wabah di Australia dinilai lebih baik dari pemerintah Indonesia. Hal itu membuat pelaku usaha Australia siap untik bertransaksi tetapi tidak dengan pelaku usaha Indonesia yang masih menghadapi pandemi. "Bisa juga sebaliknya bila wabah kembali berkembang di Australia karena Australia memasuki musim dingin saat ini sehingga rentan menciptakan gelombang kedua," jelas Shinta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .