JAKARTA. Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) menilai banyak masyarakat Indonesia atau pelaku pasar obligasi di pasar sekunder khususnya ritel, yang belum memahami harga pasar obligasi. Direktur IBPA Wahyu Trenggono mengatakan bahwa dengan ketidakjelasan harga di pasar ritel ini, banyak pihak tidak bertanggung jawab yang memanfaatkan kondisi tersebut. Pihak tidak bertanggung jawab tersebut, lanjut Wahyu, mematok harga obligasi di atas harga wajar. "Konsentrasi kami bagaimana penentuan kisaran atau range harga obligasi sehingga bisa menjadi acuan investor, khususnya ritel. Hal ini untuk memperjelas harga di pasar, agar para pelaku bisa mengetahui batasan harga wajar," kata Wahyu kepada wartawan pada Kamis (21/2). Dengan kondisi tersebut, lanjut Wahyu, membuat banyak pihak enggan masuk ke pasar obligasi dan lebih memilih deposito. Padahal menurut Wahyu, jika dilihat keuntungan atas suatu investasi atau secara yield, obligasi jauh lebih menarik dibandingkan dengan deposito. "Kita bisa lihat, kalau bunga deposito paling besar 5% sampai dengan 6%, sementara bunga atau pembagian keuntungan (dividen) obligasi bisa mencapai 8% sampai dengan 9%," tandas Wahyu. Karena itu, menurut Wahyu, saat ini investor masih perlu lagi diberikan pemahaman lebih jauh terkait hal ini. Sebab, pasar obligasi sangat berbeda dengan saham. "Jika saham ada acuan harga yang jelas di perdagangan. Namun obligasi, harganya berbeda-beda," ungkap Wahyu. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
IBPA: Banyak investor ritel buta harga obligasi
JAKARTA. Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) menilai banyak masyarakat Indonesia atau pelaku pasar obligasi di pasar sekunder khususnya ritel, yang belum memahami harga pasar obligasi. Direktur IBPA Wahyu Trenggono mengatakan bahwa dengan ketidakjelasan harga di pasar ritel ini, banyak pihak tidak bertanggung jawab yang memanfaatkan kondisi tersebut. Pihak tidak bertanggung jawab tersebut, lanjut Wahyu, mematok harga obligasi di atas harga wajar. "Konsentrasi kami bagaimana penentuan kisaran atau range harga obligasi sehingga bisa menjadi acuan investor, khususnya ritel. Hal ini untuk memperjelas harga di pasar, agar para pelaku bisa mengetahui batasan harga wajar," kata Wahyu kepada wartawan pada Kamis (21/2). Dengan kondisi tersebut, lanjut Wahyu, membuat banyak pihak enggan masuk ke pasar obligasi dan lebih memilih deposito. Padahal menurut Wahyu, jika dilihat keuntungan atas suatu investasi atau secara yield, obligasi jauh lebih menarik dibandingkan dengan deposito. "Kita bisa lihat, kalau bunga deposito paling besar 5% sampai dengan 6%, sementara bunga atau pembagian keuntungan (dividen) obligasi bisa mencapai 8% sampai dengan 9%," tandas Wahyu. Karena itu, menurut Wahyu, saat ini investor masih perlu lagi diberikan pemahaman lebih jauh terkait hal ini. Sebab, pasar obligasi sangat berbeda dengan saham. "Jika saham ada acuan harga yang jelas di perdagangan. Namun obligasi, harganya berbeda-beda," ungkap Wahyu. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News