JAKARTA. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) resmi mengajukan permohonan pengujian Pasal 245 Undang-Undang Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3) ke Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (5/8). Dalam siaran pers yang diterima KONTAN, permohonan diajukan oleh Supriyadi E. Eddyono, yang juga merupakan Direktur Eksekutif ICJR, sebagai Pemohon perorangan dan ICJR sendiri sebagai pemohon Badan Hukum Privat yang diwakili oleh Anggara Suwahju dan Wahyu Wagiman sebagai Ketua dan Sekretaris Badan Pengurus. Supriyadi W. Eddyono dan ICJR menunjuk Ifdhal Kasim, Wahyudi Djafar, Erasmus Napitupulu, Robert Sidauruk dan beberapa pengacara publik lainnya sebagai kuasa hukum dalam permohonan tersebut. Supriyadi menyebutkan bahwa kehadiran Pasal 245 UU MD3 telah merugikan dirinya dan ICJR sebagai lembaga yang konsern pada isu hukum. Lebih lagi, sebagai pembayar pajak (tax payer), menurut Supriyadi, kehadiran pasal 245 UU MD3 telah mengintervensi dan menghambat proses penegakan hukum, sehingga secara langsung membebani pembiayaan yang bersumber dari APBN, yang juga berasal dari pajak yang dibayarkannya. Lebih jauh, UU MD3 juga melanggar hak konstitusinya sebagai warga negara Indonesia. ”Sebagai pembayar pajak dan lembaga yang memiliki konsern terhadap isu hukum, kehadiran UU MD3 telah merugikan dan melanggar hak konstitusional saya sebagai pribadi dan ICJR sebagai badan hukum privat” tegas Supriyadi. Pasal 245 UU MD3 sendiri terdiri dari tiga ayat, pada intinya menyebutkan bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan. Persetujuan tertulis akan diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 hari terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan, dan permintaan keterangan untuk penyidikan. namun apabila dalam kurun waktu 30 hari persetujuan tertulis tidak diberikan, penyidikan dapat dilakukan. Ketentuan sebelumnya tidak berlaku apabila tertangkap tangan melakukan tindak pidana; disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau disangka melakukan tindak pidana khusus.
ICJR resmi menggugat UU MD3 ke Mahkamah Konstitusi
JAKARTA. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) resmi mengajukan permohonan pengujian Pasal 245 Undang-Undang Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3) ke Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (5/8). Dalam siaran pers yang diterima KONTAN, permohonan diajukan oleh Supriyadi E. Eddyono, yang juga merupakan Direktur Eksekutif ICJR, sebagai Pemohon perorangan dan ICJR sendiri sebagai pemohon Badan Hukum Privat yang diwakili oleh Anggara Suwahju dan Wahyu Wagiman sebagai Ketua dan Sekretaris Badan Pengurus. Supriyadi W. Eddyono dan ICJR menunjuk Ifdhal Kasim, Wahyudi Djafar, Erasmus Napitupulu, Robert Sidauruk dan beberapa pengacara publik lainnya sebagai kuasa hukum dalam permohonan tersebut. Supriyadi menyebutkan bahwa kehadiran Pasal 245 UU MD3 telah merugikan dirinya dan ICJR sebagai lembaga yang konsern pada isu hukum. Lebih lagi, sebagai pembayar pajak (tax payer), menurut Supriyadi, kehadiran pasal 245 UU MD3 telah mengintervensi dan menghambat proses penegakan hukum, sehingga secara langsung membebani pembiayaan yang bersumber dari APBN, yang juga berasal dari pajak yang dibayarkannya. Lebih jauh, UU MD3 juga melanggar hak konstitusinya sebagai warga negara Indonesia. ”Sebagai pembayar pajak dan lembaga yang memiliki konsern terhadap isu hukum, kehadiran UU MD3 telah merugikan dan melanggar hak konstitusional saya sebagai pribadi dan ICJR sebagai badan hukum privat” tegas Supriyadi. Pasal 245 UU MD3 sendiri terdiri dari tiga ayat, pada intinya menyebutkan bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan. Persetujuan tertulis akan diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 hari terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan, dan permintaan keterangan untuk penyidikan. namun apabila dalam kurun waktu 30 hari persetujuan tertulis tidak diberikan, penyidikan dapat dilakukan. Ketentuan sebelumnya tidak berlaku apabila tertangkap tangan melakukan tindak pidana; disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau disangka melakukan tindak pidana khusus.