ICSA mempertanyakan dasar iuran OJK



JAKARTA. Semakin dekat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) beroperasi, polemik industri keuangan satu per satu muncul. Terakhir, Kamis (22/11) lembaga super bodi ini mulai meluncurkan sosialisasi besarnya pungutan yang akan ditarik dari para pelaku usaha.

Menanggapi sosialisasi tersebut, Ketua Umum Ikatan Corporate Secretary Indonesia (ICSA) Hardijanto Saroso mengaku, pihaknya akan mengkaji ulang mengenai besaran maupun rencana pungutan OJK ini. Mengingat emiten akan mendapat beban tambahan dengan adanya pungutan tersebut. "OJK harus menjelaskan apa dasar pungutan tersebut, kalau untuk pengembangan sistem, apa beda dengan sistem perbankan yang dimiliki oleh BI saat ini dan sistem transaksi perdagangan saham yang dimiliki oleh BEI. Jika memang beban biaya ini digunakan untuk memberikan fasilitas tambahan kepada emiten, tidak masalah," jelas Hardijanto di kesempatan yang berbeda. Menurutnya, jika pungutan OJK ini hanya untuk menggaji pegawai, maka ICSA akan meminta DPR untuk mengkaji ulang keberadaan lembaga tersebut. "Intinya kami tidak ingin OJK malah membebani industri. Dulu kan untuk mendorong masuk pasar modal ada pengurangan beban biaya (pajak). Nah dengan tambahan beban ini khawatirnya malah mendorong perusahaan untuk keluar dari pasar modal," ungkapnya.

Hal ini pun sempat dikeluhkan karena dapat membuat emiten malah enggan melakukan aksi korporasi seperti penerbitan obligasi, MTN (medium term notes) ataupun right issue.


Menanggapi kegundahan ICSA, ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D Hadad menjawab, iuran itu sebanding dengan kegiatan OJK.

Iuran OJK digunakan untuk membiayai kegiatan operasional, administrasi dan pengadaan aset serta kegiatan pendukung lainnya untuk penyesuaian biaya-biaya dimaksud terhadap standar yang wajar di industri jasa keuangan.

“Pengawasan maksimal tidak mungkin memakan biaya yang murah,” ujar Muliaman. Sebagai catatan, OJK sudah menyosialisasikan pungutan untuk emiten dan perusahaan publik yaitu perusahaan dengan jumlah aset lebih dari Rp 10 triliun, akan dikenakan biaya sebesar Rp 50 juta - Rp 100 juta berdasarkan aset. Perusahaan dengan jumlah aset lebih dari atau sama dengan Rp 5 triliun dan kurang dari atau sama dengan Rp 10 triliun akan dikenakan biaya sebesar Rp 25 juta - Rp 50 juta berdasarkan aset. Sedangkan perusahaan dengan jumlah aset lebih dari atau sama dengan Rp 1 triliun dan kurang dari Rp 5 triliun akan dikenakan biaya sebesar Rp 17,5 juta - Rp 35 juta berdasarkan aset. Perusahaan dengan jumlah aset kurang dari Rp 1 triliun, akan dikenakan biaya sebesar Rp 7,5 juta - Rp 15 juta berdasarkan aset.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: