KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wakil Ketua Indonesia Corruption Watch (ICW), Ade Iriwan mengatakan, korupsi secara kekeluargaan memang menjadi tren. Hal ini terkait dengan kronologi kasus suap proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berkapasitas 35.000 Megawatt di Riau. Pada kasus tersebut, Anggota Komisi VII DPR RI, Eni Maulatti Saragih (EMS), menyuruh keponakan sekaligus sebagai staf ahlinya untuk menerima uang haram tersebut. "Tim mengidentifikasi terjadi penyerahan dari ARJ (Audrey Ratna Justianty), sekretaris JBK, kepada TM (Tahta Maharaya), Staff Ahli dan keponakan EMS, sebesar Rp 500 juta di ruang kerja ARJ," papar Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Basaria Panjaitan, dalam Konferensi Pers di Gedung KPK, Sabtu (14/7) lalu. Ade melanjutkan, ada beberapa alasan pengukuran anggota keluarga dalam kasus korupsi, salah satunya adalah faktor "keamanan". Saat anggota keluarga dilibatkan, cepat Ade, dia bisa lebih aman menyembunyikan kejahatannya. "Selain mudah untuk koordinasi saya kira," imbuh Ade kepada Kontan saat dihubungi, Minggu (15/7).
"Ini juga sekaligus memperlihatkan hancurnya nilai posisi keluarga sebagai bagian dari upaya untuk mencegah anggota keluarga lainnya untuk tidak melakukan penyimpangan, seperti korupsi," tutur Ade. Koordinator ICW, Donal Fariz menambahkan, ada modus baru yang serupa dengan kasus suap PLTU Riau-1 ini. Misalnya, cerita Donal, Anggota DPR "A" merekrut anggota keluarga dari Staff atau tenaga ahlinya. Lalu, uang hadiah atau ijon itu diserahkan pada anggota keluarga dari pihak "B". "Jadi di-s
witch begitu biar nggak terlalu kelihatan," kata Donal lewat telepon kepada Kontan, Minggu (15/7). Sebelumnya, KPK menetapkan Eni, dan pemilik APAC Inti Corpora, Johannes Budisutrisno Kotjo (JBK), sebagai tersangka kasus suap PLTU Riau-1 pada Sabtu (14/7) malam. Kotjo diduga memberikan hadiah pemulusan proyek pembangunan PLTU Riau-1 terhadap Eni berupa uang sebesar Rp 4,8 miliar atau 2,5% total nilai proyek secara bertahap. Juru Bicara KPK, Febri Diansyah menuturkan, keduanya diamankan saat Operasi Tangkap Tangan (OTT) secara terpisah. Selain Eni dan Kotjo, KPK mengamankan 11 orang lainnya yang kini menjadi saksi untuk kedua tersangka. Dari OTT tersebut KPK juga berhasil mengamankan uang Rp 500 juta dalam bentuk pecahan Rp 100.000, dan surat tanda terima penyerahan uang sebesar Rp 500 juta. KPK telah mengembankan kasus ini sejak Juni 2018 melalui laporan masyarakat yang sebelumnya telah diverifikasi KPK. Akhirnya, KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) di sejumlah tempat pada Jumat (13/7), yaitu di rumah dinas Menteri Sosial, Idrus Marham, Graha BIP, dan Bandara Internasional Soekarno-Hatta. "MAK (M. Al-Khafidz), suami EMS, dan dua Staff EMS, ketiganya diamankan di daerah Larangan, Tanggerang," tambah Basaria. Eni disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a dan b atau Pasal 11 UU No. 13/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP. Sementara itu, Kotjo disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20/2001 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP. Koruptor Anggota DPR Selain kasus suap proyek PLTU Riau-1, anggota DPR telah ditetapkan di banyak kasus korupsi tahun ini, seperti kasus korupsi e-KTP dan kasus korupsi APBD-P Malang 2015. Donal berpendapat, ada beberapa faktor yang mengakibatkan anggota DPR menyelewengkan otoritas dan wewenangnya, salah satunya adalah besarnya biaya politik para politikus. "Problem-problem ada di kepartaian kita yang butuh biaya angkut besar untuk mengelolanya. Jadi, korupsi itu terjadi di
level cost politik yang besar," tukas Donal. Koordinator ICW, Ade Iriawan berpendapat sama. Memang, tambah Ade, salah satu faktor yang membuat anggota DPR menjadi koruptor adalah pendanaan partai politik. Kedua terkait dengan pribadi anggota DPR tersebut. "Ini biasanya, satu dengan yang lainnya, berkaitan. Tidak berdiri sendiri," cepat Ade.
Pendapat berbeda datang dari Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Oce Madril. Oce berpendapat, anggota DPR dapat menyalahgunakan otoritas dan wewenangnya karena kesempatan yang terbuka lebar dan ditambah dengan pengawasan yang sangat minim. "Memang (anggota) DPR kita lama sekali berbenahnya. Sistemnya sangat mudah diterobos pihak-pihak yang koruptif," tukas Oce lewat sambungan telepon kepada Kontan, Minggu (15/7). Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia