Jakarta. Pemerintah Indonesia tengah menggenjot sektor e-commerce melalui paket kebijakan IV tentang roadmap e-commerce. Pemerintah bahkan sesumbar volume bisnis e-commerce bisa mencapai target US$ 130 miliar. Namun, perusahaan riset Internasional Data Corporation (IDC) Indonesia menilai target tersebut terlalu ambisius. Pasalnya, target tersebut dinilai tidak layak berdasar lanskap e-commerce saat ini. Diantaranya, seperti akses internet dan pengembangan infrastruktur yang belum merata serta perbedaan definisi e-commerce itu sendiri. Definisi pasar e-commerce di Indonesia masih buram. Sebab, definisi pemerintah mengenai e-commerce berbeda dengan definisi sebenarnya. "Bagaimana pemerintah mendefinisikan pasar e-commerce akan terbukti menjadi penghalang terhadap perkembangan e-commerce," ujar Sudev Bangah Country Manager IDC Indonesia dalam paparannya, di Jakarta, Senin (21/11).
Dia menyatakan kurangnya definisi yang jelas terhadap e-commerce membuatnya memiliki banyak interpretasi. Dalam kajiannya, IDC Indonesia masih menemukan situs jual beli, situs perjalanan dan perusahaan O2O (offline to online) masih dianggap sebagai e-commerce. Selain itu, ada pula perusahaan e-commerce yang mencakup barang milik, pengiriman, dan toko pihak ketiga serta tempat jual beli (market place). "Kami menghitung pure-play ecommerce itu adalah yang hanya memasarkan produk sendiri lewat situs, sehingga tidak terjadi double accounting," terang Mevira Munindra, Head of Consulting IDC Indonesia dalam kesempatan yang sama. Dalam banyak kasus, IDC Indonesia mencatat pasar e-commerce ditetapkan oleh nilai moneter derivasi dan transaksi antara entitas pure-play ecommerce. Khususnya mereka yang memiliki dan menjual produk sama halnya seperti toko fisik.