KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Digitalisasi yang kian masif telah memberikan dampak positif bagi pertumbuhan industri
e-commerce. Menurut catatan Bank Indonesia, pada tahun 2022 nilai transaksi
e-commerce melesat sebanyak 18,8% menjadi Rp 476,5 triliun. Sedangkan volume transaksinya tercatat sebanyak 3,49 miliar kali. Namun, memasuki tahun 2023, ada sejumlah tantangan seperti berakhirnya era bakar uang dan ketidakpastian global yang tidak bisa dihindari. Lalu bagaimana peluang industri
e-commerce di tahun ini? Dalam diskusi Urban Forum bertajuk "Peran Ekonomi E-commerce: Tantangan, Peluang dan Kebijakan" pada Selasa (7/3), Ketua Umum Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA), Bima Laga meyakini, industri
e-commerce akan tetap tumbuh di tahun ini.
Berdasarkan laporan yang diserahkan oleh beberapa
big player e-commerce, Bank Indonesia (BI) telah memprediksi nilai transaksi digital, tidak hanya
e-commerce tetapi juga
platform online travel agent (OTA), tahun ini akan menembus Rp 700 triliun.
Baca Juga: Perayaan Ultah ke-11, Lazada Hadirkan Kampanye 11 Epic Deals dan Tangkap Kejutan Epic "Dan menurut data Google dan Temasek untuk ekonomi digital secara keseluruhan tahun 2023 diprediksi bisa menyentuh Rp1.100 triliun jadi ada
gap Rp 400 triliun itu untuk semua
e-commerce," ujar Bima Laga dalam keterangannya, Rabu (8/3). Sementara Ekonom Binus University Doddy Ariefianto menilai dalam berkompetisi dan menggarap potensi yang besar tersebut, diharapkan para pelaku
e-commerce tidak lagi melakukan cara-cara konvensional seperti 'bakar duit' dengan promo-promo besar, gratis ongkir dan sebagainya. "Sejauh ini saya belum bisa mendefinisikan
user experience-nya apa yang berbeda dari platform-platform
e-commerce. Kalau sekadar istilahnya
gimmick main harga itu jelas strategi yang sangat konvensional dan itu nggak akan
survive. E-commerce juga harus kreatif dalam membuat
user experience yang berbeda sehingga mampu bertahan dan bersaing," tutur Doddy. Sementara terkait regulasi
e-commerce seperti Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 50 Tahun 2020 yang sedang dalam proses revisi, Bima Laga sebagai perwakilan idEA sejatinya menyetujui asalkan hal ini bertujuan untuk melindungi pelaku UMKM di Indonesia yang
go digital dan masuk
e-commerce. "Kita harapkan, misalnya terkait De Minimis (Batas Minimum). De Minimis kita itu sudah paling rendah se-Asean boleh dicek deh, yaitu US$5 dolar. Jadi beli barang lebih dari US$5 dolar kita sudah bayar pajak. Kalau kita mau menolkan De Menimis akan ada balasan atau
retaliation begitu barang UMKM kita mau masuk ke negara tujuan ekspor. Kita tidak mau seperti itu. Kita tidak ingin aturan yang nanti direvisi akan menyerang balik UMKM kita," katanya. Sementara itu, terkait rencana penunjukan platform
e-commerce sebagai pemungut, pemotong, dan pelapor pajak UMKM, Bima Laga menjelaskan bahwa sangat penting untuk menerapkan aturan yang
equal playing field bagi seluruh platform
online.
Baca Juga: Dukung Pertumbuhan Bisnis Kafe dan Restoran, Blibli Gandeng Apkrindo Jawa Timur “Ekosistem yang ditunjuk dan dipungut itu adalah memang ekosistem yang adil dan
equal playing field. Kita tidak ingin nanti
player-player yang tadinya berjualan di anggota ekosistem tetapi ada beberapa
player yang tidak bisa diterapkan sehingga terjadi migrasi atau penjualan yang tidak adil,” katanya.
Di sisi lain, Wakil Ketua KADIN bidang Kewirausahaan Dewi Meisari Haryanti, juga berkomentar bahwa lebih baik industri
e-commerce dibiarkan untuk berdinamika dahulu selama 3-5 tahun ke depan mengingat
e-commerce merupakan industri yang baru bertumbuh. Jadi sebaiknya pemerintah menghindari mengubah-ubah aturan terlalu sering. Sementara itu, terkait pajak UMKM, Dewi melihat perlunya insentif pajak untuk UMKM. “Menurut saya, produk lokal UMKM sebaiknya tidak dikenakan PPN terlebih dahulu agar bisa berkembang” tutur Dewi. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi